Bisnis.com, JAKARTA--Meski hak masyarakat adat (indigenous peoples) disebutkan dalam Preambule Paris Agreement, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan kecewa dengan kesepakatan tentang penanganan perubahan iklim tersebut.
Selama ini AMAN berjuang agar perjanjian yang lahir dari Konvensi Perubahan Iklim PBB itu menerapkan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM). "Sayang sekali pendekatan HAM ini hanya diakomodasi di Preambule saja, tidak ada dalam pada bagian teks operasional," kata Abdon kepada Bisnis, Minggu (13/12/2015).
Selain itu, menurut Abdon, masyarakat adat yang potensial dalam upaya mitigasi, justru hanya diperhatikan perannya dalam upaya adaptasi. Selama ini masyarakat adat berjuang mempertahankan hutan sebagai sumber penghidupan sekaligus memperjuangkan kelestariannya.
Ketidakpuasan kedua, lanjut Abdon, AMAN memperjuangkan ambisi 1,5 derajat Celsius (toleransi maksimal kenaikan suhu bumi) untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil Nusantara. "Keputusan untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat Celsius juga tidak ditegaskan dalam keputusan maupun perjanjian Paris."
Paris Agreement diteken 195 negara dalam penutupan Conference of Parties ke-21 (COP 21) yang berlangsung di Le Bourget, Sabtu (12/12/2015). Kesepakatan itu lahir setelah Presiden COP21 Laurent Fabius memperpanjang masa konferensi selama satu hari karena adanya kebuntuan dalam negosiasi di level menteri.
AMAN turut ambil bagian pada COP 21 dalam upayanya untuk memasukkan HAM, termasuk hak masyarakat adat, dalam Kesepakatan Paris. Mereka juga menggelar diskusi serta pemutaran film tentang bagaimana masyarakat adat di Indonesia berjuang mempertahankan wilayahnya yang berupa hutan adat dari gempuran korporasi, seperti perusahaan perkebunan dan pertambangan.