Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia didesak untuk menghapuskan hukuman mati serta membuat mekanisme penanganan yang komprehensif atas buruh migran yang terancam hukuman mati. Kebijakan moratorium pengiriman tenaga kerja dinilai bukan solusi yang efektif.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia menuturkan selama ini kebijakan yang dibuat pemerintah cenderung reaktif atas kasus eksekusi buruh migran dengan mengeluarkan moratorium.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mencontohkan, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan moratorium menyusul eksekusi Ruyati binti Satubi pada tahun 2011. Sayangnya, empat tahun kemudian Arab Saudi kembali kembali mengeksekusi mati dua orang PRT migran asal Indonesia, yakni Siti Zainab dan Karni binti Medi Tarsim.
“Lagi-lagi tragedi kemanusiaan ini direspon pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang sama, lewat Keputusan Menteri Ketenagekerjaan No. 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan ke 19 negara Timur Tengah, yang berlaku efektif sejak Juli 2015,” kata Anis Hidayah, Sabtu (10/10/2015).
Dia berujar kebijakan tersebut bukan jawaban yang tepat atas maraknya kasus hukuman mati yang menimpa PRT migran Indonesia. Pasalnya jumlah TKI yang kembali bekerja tidak surut.
Menurut survei Migrant CARE da HIVOS di Bandara Soekarno Hatta pada Maret-September 2015, dari 1.650 responden calon PRT migran ke Timur Tengah yang diwawancarai, 765 orang (46,4%) merupakan PRT migran yang baru berangkat ke Timur Tengah, sementara 884 orang (53,6%) merupakan PRT migran re-entry yang pulang cuti dan kembali lagi bekerja.
“Alih-alih menjadi solusi, repetisi kebijakan ini justru malah mencerminkan tidak adanya inovasi kebijakan dalam hal perlindungan buruh migran, sekaligus menebalkan kesan bahwa pemerintah tidak pernah melakukan evaluasi serius terhadap efektifitas kebijakan moratorium,” tambahnya.
Berdasarkan data yang disampaikan Migrant Care, sampai hari ini tercatat 281 orang buruh migran yang terancam hukuman mati di berbagai negara, 212 orang di Malaysia, 36 orang di Arab Saudi, 1 orang di Singapura, 28 orang di China, 1 orang di Qatar, 1 orang di UEA, dan 1 orang di Taiwan.
Dari data tersebut, 59 orang diantaranya telah dijatuhi vonis hukuman mati, dan 219 orang dalam proses hukum, baik proses pemeriksaan polisi maupun proses peradilan.
Menurut Anies, Presiden Joko Widodo layak diapresiasi karena secara langsung meminta pembebasan hukuman mati PRT migran Indonesia kepada Raja Saudi Arabia pada kunjungan kenegaraan awal September 2015.
“Namun upaya itu tidaklah efektif dan sia-sia jika tidak ditindaklanjuti dengan komitmen serius pemerintah Indonesia untuk pro-aktif dalam inisiatif global penghapusan hukuman mati baik di dalam maupun di luar negeri,” ucapnya.