Kabar24.com, JAKARTA-- Seekor monyet yang bersin saat musim hujan dan ikan dapat berjalan ditemukan di antara lebih dari 200 spesies baru di Himalaya timur dalam beberapa tahun terakhir, demikian menurut kelompok konservasi WWF.
WWF telah menyurvei satwa liar yang ditemukan para ilmuwan di seluruh Bhutan, timur laut India, Nepal, utara Myanmar dan selatan Tibet, dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran akan ancaman dihadapi wilayah sensitif tersebut.
Sebagaimana dilaporkan Japan Times, Rabu (7/10/2015), spesies yang digambarkan WWF dalam temuannya termasuk "ikan kepala ular yang dapat berjalan", bisa bertahan di darat selama empat hari dan meluncur hingga 400 meter di atas tanah basah.
Spesies lainnya dalam itu termasuk ular berbisa dengan hiasan bintik merah-kuning-oranye, ikan 'drakula' air tawar, serta ikan dengan taring dan tiga jenis baru pisang.
Di hutan sekitar wilayah utara Myanmar, para ilmuwan mempelajari bahwa sejak 2010 monyet hitam-putih dengan hidung terbalik acap kali mengeluarkan bersin saat musim hujan. Pada hari-hari hujan, menurut ilmuwan, monyet-monyet tersebut dikatakan sering duduk dengan kepala yang terselip di antara lutut-lutut mereka untuk menghindari air menyelusup ke hidung peseknya.
Dari 211 spesies baru yang ditemukan antara 2009 hingga 2014, termasuk 133 tumbuhan salah satunya anggrek; 26 jenis ikan; 10 amfibi; 39 invertebrata; satu reptil; satu burung; dan mamalia. Dipankar Ghose, Direktur WWF untuk spesies dan lanskap di India, menggambarkan daerahnya sebagai "rumah harta unik" yang belum sepenuhnya dieksplorasi oleh para ilmuwan.
WWF juga mengatakan wilayah di sekitar Pegunungan Everest, yang kasar dengan hutan luas, sungai dilindungi oleh pegunungan, spesis-spesies telah berevolusi dan bertahan tanpa diketahui selama berabad-abad.
"Beberapa (spesies) begitu unik dan kharismatik sehingga para ilmuwan sering bingung bagaimana untuk mengklasifikasikan mereka," kata laporan itu, yang dirilis minggu ini.
Ancaman
Tapi , WWF memperingatkan serangkaian ancaman ke wilayah itu, termasuk pertumbuhan penduduk, deforestasi, penggembalaan, perburuan, pertambangan, dan pembangunan pembangkit listrik tenaga air. Hanya 25 persen dari habitat asli dilaporkan tetap utuh, dan ratusan spesies dianggap terancam.
"Tantangannya adalah untuk melestarikan ekosistem kita yang terancam sebelum spesies ini, dan lain-lainnya yang belum diketahui, atau hilang," kata Sami Tornikoski, yang mengepalai lembaga WWF, Inisiatif Hidup Himalaya.
Laporan itu menyerukan pembangunan berkelanjutan, mengurangi kebutuhan PLTA dan bantuan pemerintah bagi masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim.
Ghose mendesak pendekatan menyeluruh pemerintah dan menekankan perlunya keterlibatan pemerintah di seluruh wilayah untuk bekerja sama mencapai keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Departemen Kehutanan saja, misalnya, tidak dapat menangani hal ini karena dibutuhkan koordinasi di beberapa bidang pemerintahan.
"Negara-negara juga perlu bekerja sama melindungi keanekaragaman hayati yang sangat besar."
Sementara itu, Menteri Pertanian dan Kehutanan Bhutan, Yeshey Dorji, memperingatkan, bahwa dampak perubahan iklim, dengan peningkatan suhu memukul keras Pegunungan Himalaya, yang menurut dia, adalah garis hidup bagi jutaan orang dan aset yang sangat penting untuk ekonomi negara-negara yang berada di wilayah tersebut.