Bisnis.com, JAKARTA — Bivitri Susanti, peneliti senior dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, berpendapat bahwa izin penyadapan itu berisiko mematahkan kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan.
“Karena tidak ada jaminan bahwa pengadilan akan mengedepankan independensi dan kredibilitasnya dalam mengungkap kasus korupsi,” katanya saat dihubungi, Selasa (6/10/2015).
Bivitri juga tidak yakin ada lembaga penegak hukum lain yang mampu mengungkap kasus korupsi di bawah Rp50 miliar.
“Jika ada batasan penanganan kasus korupsi dengan nilai minimal Rp50 miliar oleh KPK, lantas siapa yang menangani kasus dibawah nominal itu? Kejaksaan dan Kepolisian kan juga dikenal korup.”
Dengan demikian, Bivitri meminta DPR untuk merevisi draf RUU tersebut. “Kalau tidak diubah, kami akan minta pemerintah untuk menolak ikut membahas revisi UU tersebut. Dalam hal ini pemerintah harus tegas bersikap dengan tidak ikut membahas revisi UU KPK.”
Seperti diketahui, setelah pembahasannya ditolak oleh Presiden Jokowi pada Juni 2015, ternyata DPR mengubah inisiatif usul dari pemerintah menjadi DPR. Kali ini, revisi UU KPK diusulkan oleh Fraksi Partai Nasdem, PKB, PPP, Partai Golkar, Partai Hanura, dan PDIP.
Dalam revisi UU KPK, DPR akan memasukkan beberapa klausul yang dianggap membatasi ruang gerak KPK. Selain penyadapan yang harus melaui izin pengadilan, KPK hanya diberikan ruang untuk menangani kasus korupsi dengan nominal diatas Rp50 miliar, padalah sebelumnya Rp1 miliar.
Tidak hanya itu, usia KPK juga dibatasi hanya 12 tahun sejak RUU tersebut resmi disahkan menjadi UU. DPR berdalih, pembatasan usia itu dimaksudkan sebagai penegas bahwa lembaga itu dibentuk sementara atau bersifat ad hoc.