Kabar24.com, JAKARTA-- Pengamat Pendidikan Doni Koeseoma mengapresiasi ada anak Indonesia yang baru berumur 14 tahun, namun sudah duduk di bangku kuliah.
Walau begitu, dia tidak menyarankan agar sistem pendidikan akselerasi dilakukan di Indonesia.
“Saya sih menentang akselerasi,” katanya saat dihubungi Kamis (20/8/2015).
Sebelumnya, Aldo Meyolla Geraldino menjadi mahasiswa termuda di Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada usianya yang masih 14 tahun, remaja kelahiran 19 Desember 2000 ini mampu menembus jenjang mahasiswa dan masuk di Fakultas Kedokteran UGM.
Aldo menamatkan pendidikannya di SD Negeri 16 Solo, Jawa Tengah dalam lima tahun. Lalu bersekolah di SMP 9 Solo. Dia menyelesaikan jenjang SMP dalam waktu dua tahun. Aldo lantas meneruskan pendidikannya di SMA 1 Solo yang dilahapnya dalam dua tahun.
Doni mengatakan kelas akselerasi di negara maju biasanya hanya diberikan kepada anak anak ber-IQ lebih dari 140. Namun, di Indonesia, sekolah menerapkan kelas akselerasi bagi anak anak normal yang IQ-nya hanya sekitar 100-110.
Menurut Doni, ada beberapa akibat buruk kelas akselerasi di Indonesia. Dari sisi pelajar, anak akselerasi bisa lemah dalam mematangkan kepribadian di sosial dan lingkungannya.
Dari sisi sekolah, kata Doni, akan banyak lembaga pendidikan yang meningkatkan biaya sekolah dengan menggunakan embel embel akselerasi.
“Sekolah akan mahal, padahal sebenarnya perbedaan kualitas antara kelas biasa dengan kelas akselerasi hampir tidak ada,” kata Pendiri Pendidikan Karakter Education Consulting ini.
Normal
Doni lebih menyarankan agar sekolah di Indonesia mengikuti masa belajar yang normal, yaitu Sekolah Dasar 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama 3 tahun dan Sekolah Menengah Atas selama 3 tahun.
“Dengan begitu, sosialisasi dan pengembangkan karakter serta kepribadian bisa dilakukan sehingga pada saat kuliah mereka bisa mandiri,” katanya.
Bila ingin menyelesaikan studi lebih cepat, dia menyarankan dilakukan di tingkat sarjana.
“karena di tingkat itu, secara kepribadian, dan ilmu anak itu sudah akan matang,” katanya.
Menurut Doni, tingginya ilmu pengetahuan tidak ada korelasinya dengan kematangan kepribadian, sehingga banyak yang sekolahnya sudah tinggi, namun gagap dalam pergaulan sosial lantaran masih belum matang kepribadiannya.
Di negara maju, kata Doni, banyak anak usia muda yang cepat lulus sekolah dan tinggi ilmunya, namun gagal dalam kehidupan.
“Bahkan banyak pula yang bunuh diri karena stres, lantaran kepribadiannya tidak matang,” katanya.