Bisnis.com, JAKARTA - Ada dugaan pencopotan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel oleh Presiden Joko Widodo karena banyak pihak yang tidak suka dengan kebijakan-kebijakan yang telah diambil demi kepentingan masyarakat.
"Saya menduga, Rachmat Gobel diganti karena banyak pihak yang tidak suka dengan dia," ujar Peneliti Formappi, Lucius Karus, Kamis (13/8/2015).
Dia mengungkapkan ada kepentingan politik dan ekonomi. Terutama para mafia beras, gula, pakaian bekas, dan yang terakhir mafia impor daging sapi, di mana Gobel memberikan wewenang kepada Bulog langsung untuk mengimpor daging sapi, dan tidak lagi kepada importir swasta, bahkan mengancam untuk mempidanakan para penimbun sapi bila terbukti sebagai penyebab dari meroketnya daging sapi baru-baru ini.
Presiden Joko Widodo, Rabu (12/8/2015), melakukan perombakan terbatas, dengan mengganti enam menteri. Salah satu yang diberhentikan adalah Rachmat Gobel. Gobel dicopot dari posisinya sebagai Menteri Perdagangan (Mendag). Presiden kemudian menunjuk Thomas Trikasih Lembong sebagai penggantinya.
Lebih lanjut Lucius menambahkan kebijakan-kebijakan Kementerian Perdagangan di bawah Gobel selalu mengarah untuk melindungi produk-produk lokal dari merebaknya produk luar negeri. Karenanya, tak pelak kebijakan tersebut kerap membuat Gobel bermusuhan dengan para mafia impor.
Lucius menambahkan, Presiden Jokowi juga tidak menjelaskan kriteria secara utuh ketika menggantikan para pembantunya tersebut, apakah karena dari prestasi atau kepentingan tertentu.
"Kalau kriterianya adalah prestasi, tentu banyak menteri yang lain yang mesti dicopot," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI, Laode Ida mengatakan, perombakan yang dilakukan Presiden hari ini boleh jadi merupakan agenda terselubung dari kelompok kepentingan tertentu untuk menciptakan instabilitas di intern pemerintahan Jokowi-JK.
Laode menilai jika alasan perombakan adalah memburuknya kondisi ekonomi di negeri ini, maka tak bisa langsung memvonis yang salah adalah menteri terkait, karena ini berkenaan dengan ekonomi global.
Laode menjelaskan, untuk merombak kabinet harus dengan tolak ukur kinerja yang jelas, salah satunya dengan mengukur serapan anggaran dan dikaitkan dengan capaian hasil di lapangan yang bisa ditunjukkan langsung atau dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
"Dan itu baru bisa dilakukan setidaknya setelah satu tahun penyelenggaraan program berikut anggarannya. Kalau sekarang, satu tahun saja belum, lalu mana yang bisa diukur," katanya.