Bisnis.com, JAKARTA - Pada usia yang 83 tahun, Johannes Baptista Sumarlin, masih bugar dan energetik. Pak Marlin, begitu panggilan akrabnya, masih tangkas menjawab pertanyaan-pertanyaan layaknya ketika menjadi Menteri Keuangan 1988-1993.
Ia masih sibuk. Setiap hari ia sempat berolahraga dengan berjalan kaki. "Sejak mahasiswa saya main tenis, terus beralih ke golf. Sekarang cukup jalan kaki saja," katanya.
Saya menemuinya untuk penulisan buku Milestone Pasar Modal Indonesia. Tentu saja peran Pak Marlin tak bisa dilupakan bagi perkembangan bursa saham di Tanah Air. Ketika bicara tentang pasar modal, ayah dua anak itu begituh fasih. Ia pun bercerita mulai dari sejarah. "Pasar Modal Indonesia yang sudah ada sejak 1920-an, sebelum Perang Dunia II," ia memulai kisahnya.
Bursa sudah ada di tiga kota yaitu Jakarta, Semarang dan Surabaya. Kemudian sempat mati sejak 1942 dan dihidupkan lagi pada 1950, untuk beberapa tahun saja.
Pada tahun 1997, Pasar Modal Indonesia dihidupkan kembali yang dijalankan oleh Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam). Awalnya bertujuan untuk menasionalisasikan perusahaan Penanaman Modal Asing dan sekaligus sebagai alat pemerataan pendapatan rakyat. "Inilah yang dilakukan oleh PT Danareksa, melalui penerbitan Sertifikat Reksadana, yang ditawarkan kepada pemodal kecil yang didukung oleh saham perusahaan-perusahaan publik."
Menghidupkan kembali pasal modal, katanya, adalah ide dari Presiden Soeharto setelah ia mempresentasikannya. "Pak Harto itu hebat. Dia punya visi yang jauh ke depan tentang bagaimana membangun pasar modal Indonesia yang kuat."
Pada masa-masa sulit, dia menyebut nama Marzuki Usman, Ketua Bapepam ketika itu, yang banyak membantunya untuk membangun pasar modal. "Pak Marzuki adalah orang yang mau kerja sampai pagi. Saya sangat terbantu." Begitulah. Pasar modal memang pernah mati dan karena tangan dingin Marzuki menjadi hidup kembali. Itulah sebabnya ia dikenal sebagai orag yang bisa menghidupkan barang yang sudah mati. Meminjam istilah Marzuki, "membuat kuburan menjadi ramai."
Pak Marlin kelahiran Nglegok, Blitar, Jawa Timur, 7 Desember 1932, begitu semangat berbicara mengenai perkembangan pasar modal dan tetap mencermati hingga kini mulai dari regulasi, manajemen bursa hingga menurunnya indeks harga saham gabungan.
Sikapnya terhadap pemerintah cukup kritis. Jebolah Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia pada 1958, itu mencermati pertumbuhan ekonomi, pergerakan rupiah hingga persoalan birokrasi.
Ia yang pernah menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menneg PAN), Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Ketua Bappenas. Ia juga masih sempat membimbing kandidat doktor di Universitas Indonesia. "Sebagai guru besar, saya masih rapat sebulan sekali di Depok."
Apa kritiknya terhadap Presiden Jokowi? "Harus ada koordinasi yang optimal. Perkuat leadership," katanya serius.