Prostitusi online yang dibongkar oleh aparat kepolisian akan sulit untuk ditumpas. Pasalnya, kegiatan pelacuran seperti ini belum diatur dalam hukum kita. Bila kita lihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus.
Karenanya, polisi akan kesulitan untuk menjerat AA karena persoalan prostitusi tidak diatur dalam delik-delik kesusilaan dalam KUHP.
Bila dilihat pada Pasal 281 sampai Pasal 303, khususnya Pasal 296 dan Pasal 506 tidak ditunjukan untuk pelaku prostitusi. Karenanya mungkin polisi akhirnya melepas AA. Adapun germo dari AA terus diproses oleh polisi bila karena perbuatannya sudah memenuh unsur-unsur Pasal 296.
Menyikapi hal tersebut, kami mendesak agar DPR memasukkan persoalan prostitusi dalam RUU KUHP. Bayangkan saja, kalau satu germo saja punya 200-an anak buah. Bila masing-masing sehari bisa menerima 3-5 lelaku hidung belang, bisa sampai seribu pelanggannya dalam sehari. Itu hanya satu jaringan saja. Tentunya ini menjadi ancaman moralitas untuk generasi muda kita, termasuk pada persoalan penularan HIV AIDS.
Lebih lanjut, sebagai sanksi sosial perlu agar istilah yang dipakai dikembalikan pada istilah lama, yaitu wanita tuna susila, bukan pekerja seks komersial. Hal ini untuk memberikan sanksi sosial untuk pelaku prostitusi.
Pengirim
Rozaq Asyhari
Paham Indonesia Jl. TB. Simatupang, No. 19,
Jakarta Timur