Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sekali Lagi, Perang Dagang

Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan di Kalimantan Tengah beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa hambatan produk sawit masuk ke pasar Eropa adalah pertarungan bisnis. Mereka ingin melindungi petani bunga matahari, petani mereka. Kita juga mau melindungi petani kita. Saya kira akan dibicarakan lagi di WTO.Indonesia, sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar minyak sawit, pada tahun 2013 memproduksi 30 juta ton minyak sawit dan mengekspor 23 juta ton (kurang lebih 70%) ke berbagai negara, antara lain : India,Cina, Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat, dll.
Tandan buah segar kelapa sawit/Jibi
Tandan buah segar kelapa sawit/Jibi

Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan di Kalimantan Tengah beberapa waktu yang lalu mengatakan bahwa hambatan produk sawit masuk ke pasar Eropa adalah pertarungan bisnis. "Mereka ingin melindungi petani bunga matahari, petani mereka. Kita juga mau melindungi petani kita. Saya kira akan dibicarakan lagi di WTO".

Indonesia, sebagai produsen sekaligus eksportir terbesar minyak sawit, pada tahun 2013 memproduksi 30 juta ton minyak sawit dan mengekspor 23 juta ton (kurang lebih 70%) ke berbagai negara, antara lain : India,Cina, Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat, dll.

Sejauh ini, hambatan perdagangan umumnya terjadi di pasar Eropa dan Amerika Serikat. Ini sebenarnya persoalan klasik, sebabagai kelanjutan dari kampanye anti-sawit yang sudah berlangsung sejak tahun 80-an, isu terbaru yakni deforestasi dan lahan gambut berkembang menjadi hambatan perdagangan di Eropa ataupun di Amerika Serikat.

Uni Eropa mengeluarkan peraturan RED (Renewable Energy Directive) tahun 2011 yang mensyaratkan bahan baku biofuel harus berasal dari perkebunan yang ditanam tidak berasal dari hutan primer dan lahan gambut.

Mereka mengasumsikan bahwa semua perkebunan sawit Indonesia berasal dari hutan primer dan lahan gambut, sehingga penghematan gas rumah kaca (green house gas emission saving) yang disyaratkan 35% tidak terpenuhi, karena sawit hanya 19%.

Setali tiga uang, Amerika Serikat melalui EPA (Environment Protection Agency) mengeluarkan draft peraturan mengenai RFS (Renewable Fuel Standard), yang mensyaratkan bahan baku biofuels harus memenuhi persyaratan 'pengurangan emisi' sebesar 20%, sementara minyak sawit, menurut hitungan mereka, hanya mencapai 17%. Alasannya sama, minyak sawit Indonesia diasumsikan ditanam pada lahan asal hutan primer dan lahan gambut.

Apakah ini bukan perang dagang? Uni Eropa menghasilkan biofuels asal rapeseed, tanaman yang di tanam di Negara-negara Eropa dan menjadi komoditi strategis karena berkaitan dengan petani.

Hingga saat ini petani rapeseed masih mendapatkan subsidi dari Pemerintahnya. Demikian juga di Amerika Serikat, tanaman kedelai yang di tanam petani, kini mulai digunakan sebagai bahan baku biodiesel.

Persaingan timbul ketika minyak sawit juga bisa digunakan sebagai biodiesel, dan karena penggunaan dalam negeri masih kecil, produksi Indonesia diekspor ke Eropa dan Amerika Serika. Di sinilah timbul persaingan di pasar, antara biodiesel asal sawit dengan biodiesel asal rapeseed dan kedelai.

Biodiesel asal sawit lebih konmpetitif karena produktifitasnya jauh lebih tinggi (rata-rata 3.6 ton/ha/tahun) dibandingkan rapeseed (0,7 ton/ha/tahun) dan maupun kedelai (0,4 ton/ha/tahun).

Perang dagang yang paling efektif adalah menggunakan isu keberlanjutan (sustainability) dengan mengampanyekan bahwa minyak sawit diproduksi secara tidak ramah lingkungan. Pemerintah Eropa pun mendukung dengan membuat peraturan perdagangan yang bersifat menghambat (non tarif barier) dalam bentuk RED di Eropa maupun di RFS di Amerika Serikat.

Pemerintah Indonesia tidak bisa membiarkan hal ini berlangsung terus, karena semua hambatan perdagangan mulai dari kampanye negatif, berbagai skema sertifikasi dan peraturan non tarif akan menggrogoti daya saing produk kelapa sawit Indonesia. Dan siapa yang paling menanggung penurunan daya saing tersebut adalah petani kelapa sawit Indonesia.

Petani kelapa sawit Indonesia saat ini menguasai 43% luas lahan perkebunan kelapa sawit nasional ataw sekitar 4,4 juta ha, tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Petani sawit yang sudah menghadaapi masalah daya saingdomestik akibat infrastruktur dan produktifitas, kini ditambah lagi dengan masalah dari pasar global berupa tuduhan keberlanjutan dan berbagai skema sertifikasi  keberlanjutan. Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan 3 hal :

Pertama, mengintensifkan lobi dengan Pemerintah Eropa dan Amerika Serikat, seraya  melakukan negoisasi bilateral dalam rangka kerja sama antar negara (G toG).

Kedua, tidak merespon setiap isu keberlanjutan yang di alamatkan kepada kepala sawit dengan membuat counter attack. Kriteria keberlanjutan sangat releatif dan fakta fakta yang mereka gunakan selalu 'debatable', mengounter isu dengan memberikan data data tandingan tidak akan merubah sikap mereka, atau akan menjadi perdebatan tiada akhir. Pemerintah harus mulai berani merespon tuduhan dengan menggunakan instrumen perdagangan.

Kita yakin, akan masalahnya adalah persaingan bisnis, dan oleh karenanya Indonesia bisa 'mengancam' Eropa akan mengurangi impor barang mereka kalau kelapa sawit dihambat masuk di pasar mereka. Ujung ujungnya akan ada solusi win-win, contoh yang baik adalah ketika Jepang membuka pasar ayam potong Indonesia dan Indonesia memberikan konsesi impor corn beef dari Jepang.

Ketiga, jika tidak ada kesempatan bisnis antar kedua pihak, Indonesia bisa melakukan komplain kepada WTO, karena harusnya WTO bisa menjadi juri atas perlakuan diskriminatif perdagangan terhadap produk kelapa sawit Indonesia.

Dengan sikap tegas Pemerintahan Jokowi, yang sudah dibuktikan dengan menenggelamkan kapal-kapal ikan asing ikan ilegal, harusnya Negara-negara pengimpor kelapa sawit akan bersedia menyelesaikan masalah hambatan perdagangan, apalagi alasannya sama : mereka melindungi petani mereka, kita melindungi petani kita

Asmar Arsjad
Sekretaris Jendral Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo)     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper