Bisnis.com, KUALA LUMPUR - Munculnya kasus-kasus TKI bermasalah termasuk di Malaysia lebih banyak akibat dari pola perektrutan dan pengirimannya tidak mengikuti aturan yang telah disepakati bersama dengan panduan peraturan perundangan dari negara pengirim maupun negara penerimanya.
"Berdasarkan statistik, kasus pembantu rumah tangga (PRT) yang mengalami permasalahan bukan dialami oleh mereka yang disalurkan secara prosedur yang telah disepakati kedua belah pihak," ungkap Wakil Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia Hermono, Rabu (18/2/2015).
Menurut Hernomo, lebih dari 90% kasus-kasus seperti tidak dibayar gaji, penyiksaan, sakit dan lainnya itu karena keberadaan para pekerja tersebut di negara ini melalui jalur tak sesuai prosedural, serta yang melalui pemberian JP visa.
Jika lewat jalur prosedur, lanjut dia, tentu mereka yang dikirim harus dalam kondisi sehat, memiliki keterampilan, mendapatkan pelatihan, dan memiliki dokumen yang lengkap dan sah.
Namun pada kenyataannya, perektrutan dan pengiriman sesuai prosedur itu tidak berjalan dengan baik, karena mereka yang bekerja di Malaysia ini lebih dominan melalui jalur yang tidak prosedural tersebut.
Pihak majikan di Malaysia bahkan tetap menerima mereka sekalipun tidak melalui prosedur yang ditentukan dan selanjutnya sebagian dari mereka malah diuruskan JP visa-nya untuk bisa bekerja di negara ini.
Padahal, lanjut dia, Malaysia telah menyatakan tidak memberikan JP visa tersebut sejak 2013.
Di Indonesia, jika mengikuti prosedur pengiriman yang benar, para tenaga kerja tersebut harus melewati serangkaian pelatihan dan diproses melalui BNP2TKI.
"Kalau sekarang, mereka bisa langsung terbang tanpa harus lewat pelatihan, dan kemudian diuruskan JP visa," ungkap dia.
Dalam kondisi sekarang ini, belum ada upaya yang efektif berkaitan dengan perektrutan, pengiriman dan penyaluran para pekerja di sektor ini. Sebenarnya, menurut Hermono, permasalahan tersebut dapat diatasi apabila kedua belah pihak mengikuti aturan yang telah disepakati bersama.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin segera menghentikan pengiriman tenaga kerja pembantu rumah tangga (PRT) ke luar negeri karena terkait erat dengan harga diri dan martabat bangsa.
"Saya memberikan target kepada Menteri Tenaga Kerja untuk membuatkan roadmap yang jelas dan kapan kita setop yang namanya pengiriman PRT. Kita harus punya harga diri dan martabat," kata Jokowi dalam Munas II Partai Hanura, Jumat lalu.
Saat melakukan kunjungan bilateral beberapa waktu lalu ke Malaysia, Brunei, dan Filipina, Jokowi mendapati fakta bahwa sebanyak 2,3 juta penduduk Indonesia menjadi tenaga kerja dan sebanyak 1,2 juta di antaranya ilegal.
Dari jumlah itu, kata dia, banyak sekali yang tersangkut masalah. Oleh karena itu, dia berharap bisa segera memasang target waktu untuk menghentikan pengiriman PRT.
"Di dunia hanya ada tiga negara penyuplai PRT, dua di Asia dan satu di Afrika. Yang di Asia salah satunya Indonesia. Ini masalah martabat kita. Waktu kita bilateral dengan Malaysia, satu betul-betul malu," katanya.
Selain malu, Presiden mengaku sakit hati ketika membicarakan soal PRT dengan Malaysia. Ke depan, Presiden juga menekankan pentingnya mempersempit jurang kesenjangan antara si miskin dan kaya.
Ini Akar Penyebab TKI Bermasalah Terus di Luar Negeri
Munculnya kasus-kasus TKI bermasalah termasuk di Malaysia lebih banyak akibat dari pola perektrutan dan pengirimannya tidak mengikuti aturan yang telah disepakati bersama dengan panduan peraturan perundangan dari negara pengirim maupun negara penerimanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
3 jam yang lalu
Kapolri Tegaskan Bakal Ikuti Jadwal DPR Soal Revisi UU Polri
4 jam yang lalu