Bisnis.com, TOKYO – Setelah terkontraksi dua kuartal berturut-turut, perekonomian Jepang kuartal akhir tahun lalu akhirnya mencatatkan pertumbuhan positif. Kendati demikian, pertumbuhan melaju lebih rendah dari proyeksi ekonom dan analis.
Kantor Kabinet Jepang melaporkan negara itu tumbuh 2,2% (year-on-year) selama Oktober – Desember, lebih rendah dari konsensus ekonom Reuters dan Bloomberg yaitu kenaikan 3,7%. Pertumbuhan di bawah estimasi ini dinilai menandai dampak kenaikan pajak penjualan 3 persentase poin tahun lalu masih membebani ekspansi Negeri Sakura.
Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menyampaikan data pertumbuhan menunjukkan belanja domestik memang membaik, namun lajunya sangat lambat karena tingkat upah tidak menyesuaikan dengan laju kenaikan harga.
“Sentimen konsumen mengecewakan. Keputusan pemerintah untuk menunda kenaikan pajak penjualan 2 persentase menjadi 10% sudah tepat,” ungkap Suga merespons data pertumbuhan di Tokyo, Senin (16/2/2015).
Seperti diketahui, lesunya belanja konsumen dan pertumbuhan yang terkontraksi masing-masing 7,3% dan 1,9% pada kuartal kedua dan ketiga tahun lalu mendorong Perdana Menteri Shinzo Abe membatalkan rencananya meningkatkan pajak penjualan menjadi 10% dari saat ini 8%.
Pasalnya, kenaikan pajak penjualan dituding menjadi penyebab kontraksi pertumbuhan karena secara langsung menaikkan harga-harga kebutuhan. Dengan ditundanya kenaikan pajak penjualan, Abe berharap belanja rumah tangga dan bisnis dapat segera pulih.
Direktur Penelitian Ekonomi NLI Research Institute, Taro Saito mengiyakan dua faktor utama yang menyebabkan stagnasi pertumbuhan Jepang adalah belanja rumah tangga dan belanja modal perusahaan.
“Kedua faktor itu menjadi tumpuan kita untuk mendorong pertumbuhan kuartal akhir tahun lalu, namun keduanya menunjukkan performa mengecewakan. Perekonomian Jepang memulih namun tidak cukup kuat untuk bangkit dari resesi,” jelas Saito.