Bisnis.com, BEIJING – Indeks harga konsumen China dilaporkan berada di tingkat 1,5% (year-on-year) pada Desember 2014, naik tipis dari bulan sebelumnya 1,4%. Angka inflasi bulan terakhir tahun lalu tersebut mengonfirmasi Negeri Tembok Raksasa kian berisiko mengalami deflasi.
Data Kantor Statistik Nasional China menunjukkan sepanjang semester dua tahun lalu, China tidak berhasil mencapai target inflasi 2%. Sejumlah kebijakan longgar yang diimplementasikan pemerintah tidak menunjukkan dampak signifikan, seiring lesunya belanja domestik negara itu.
Negara perekonomian terbesar kedua dunia didorong untuk terus berupaya mengatasi keterpurukan pasar properti dan tingginya utang pemerintah lokal dan perusahaan tersebut jika tidak ingin terjebak deflasi.
“Tidak mudah bagi China menghindari risiko deflasi tahun ini. Kami mempertahankan pendapat mengenai kebutuhan negara itu akan kebijakan longgar,” ungkap ekonom Citi Group, Minggao Shen di Hong Kong, merespons laporan inflasi.
Shen menilai rendahnya inflasi memberi ruang bagi pengambil kebijakan untuk kembali menetapkan kebijakan longgar. Menurutnya, ancaman deflasi diperparah dengan pernurunan konstan harga minyak dunia.
Untuk itu, Shen merekomendasikan otoritas moneter untuk memangkas suku bunga dan rasio cadangan bank (reserve requirement ratio / RRR) hingga 2-4 kali lagi tahun ini.
Sepanjang 2014 lalu, China memutuskan untuk mengimplementasikan sejumlah kebijakan longgar seperti pemangkasan RRR, mempermudah persyaratan pengajuan KPR, mempercepat pengerjaan beberapa proyek, diakhiri dengan pemangkasan suku bunga.
Akhir November lalu, People’s Bank of China (PBoC) memangkas tingkat suku bunga untuk pertama kalinya dalam dua tahun ke level 5,6% dari sebelumnya 6%. Suku bunga dipangkas setelah data menunjukkan belanja domestik stagnan dan perekonomian diproyeksikan melambat.