Bisnis.com, JAKARTA - Perjanjian pengaturan perdagangan senjata dunia senilai 85 miliar dolar Amerika Serikat (sekitar 1.020 trilun rupiah) mulai berlaku pada Rabu dengan pejuang bertekad memastikannya betul-betul diwujudkan.
Amerika Serikat, pembuat dan penjual terbesar senjata di dunia, sudah menandatangani perjanjian itu, tapi belum mensahkannya.
Penjual penting lain, seperti, Prancis, Inggris, dan Jerman, sudah mensahkan piagam itu dan berjanji mematuhi aturan ketatnya, yang bertujuan memotong pasokan senjata kepada pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia.
"Sudah terlalu lama, senjata dan peluru diperdagangkan dengan sedikit pertanyaan tentang hidup siapa yang akan dihancurkannya," kata Anna Macdonald, direktur persatuan lembaga swadaya masyarakat Kendalikan Senjata.
"Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT) itu, yang mulai berlaku pada pekan ini, akan mengakhirinya. Sekarang, akhirnya, memberikan senjata kepada pelanggar hak asasi manusia dan diktator dinyatakan melanggar hukum antarbangsa," katanya.
Sejumlah 130 negara sudah menandatangani perjanjian itu dan 60 lagi telah mensahkannya, termasuk Israel, yang bergabung dengan gerakan itu baru pada bulan ini.
Tapi, pegiat menyatakan banyak pekerjaan di depan untuk melaksanakan perjanjian itu, dengan pertemuan pertama negara peserta perjanjian itu pada sekitar September tahun depan.
Keputusan harus dibuat tentang cara pembiayaan perjanjian itu dan mendirikan sekretariat untuk mengawasi pelaksanaannya.
Amnesty International mencatat bahwa lima dari 10 penjual senjata -Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris- sudah mensahkan ATT. Tiongkok dan Rusia belum menandatanganinya.
Sebagai perjanjian utama pertama persenjataan utama sejak Perjanjian Pelarangan Uji Nuklir Terpadu 1996, ATT mencakup pengalihan antarbangsa segalanya, mulai dari tank hingga pesawat tempur dan peluru kendali, selain senjata ringan.
Perjanjian itu memaksa negara mengendalikan penjualan senjata. Negara harus menilai apakah senjata dapat digunakan untuk menghindari embargo internasional, untuk pemusnahan dan kejahatan perang atau digunakan oleh teroris dan kejahatan tergalang.
"Jika dilaksanakan tuntas, perjanjian itu berpeluang menyelamatkan banyak nyawa dan menawarkan banyak perlindungan bagi warga rentan di seluruh dunia," kata Macdonald.
Amerika Serikat, pembuat dan penjual terbesar senjata di dunia, sudah menandatangani perjanjian itu, tapi belum mensahkannya.
Penjual penting lain, seperti, Prancis, Inggris, dan Jerman, sudah mensahkan piagam itu dan berjanji mematuhi aturan ketatnya, yang bertujuan memotong pasokan senjata kepada pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia.
"Sudah terlalu lama, senjata dan peluru diperdagangkan dengan sedikit pertanyaan tentang hidup siapa yang akan dihancurkannya," kata Anna Macdonald, direktur persatuan lembaga swadaya masyarakat Kendalikan Senjata.
"Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT) itu, yang mulai berlaku pada pekan ini, akan mengakhirinya. Sekarang, akhirnya, memberikan senjata kepada pelanggar hak asasi manusia dan diktator dinyatakan melanggar hukum antarbangsa," katanya.
Sejumlah 130 negara sudah menandatangani perjanjian itu dan 60 lagi telah mensahkannya, termasuk Israel, yang bergabung dengan gerakan itu baru pada bulan ini.
Tapi, pegiat menyatakan banyak pekerjaan di depan untuk melaksanakan perjanjian itu, dengan pertemuan pertama negara peserta perjanjian itu pada sekitar September tahun depan.
Keputusan harus dibuat tentang cara pembiayaan perjanjian itu dan mendirikan sekretariat untuk mengawasi pelaksanaannya.
Amnesty International mencatat bahwa lima dari 10 penjual senjata -Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris- sudah mensahkan ATT. Tiongkok dan Rusia belum menandatanganinya.
Sebagai perjanjian utama pertama persenjataan utama sejak Perjanjian Pelarangan Uji Nuklir Terpadu 1996, ATT mencakup pengalihan antarbangsa segalanya, mulai dari tank hingga pesawat tempur dan peluru kendali, selain senjata ringan.
Perjanjian itu memaksa negara mengendalikan penjualan senjata. Negara harus menilai apakah senjata dapat digunakan untuk menghindari embargo internasional, untuk pemusnahan dan kejahatan perang atau digunakan oleh teroris dan kejahatan tergalang.
"Jika dilaksanakan tuntas, perjanjian itu berpeluang menyelamatkan banyak nyawa dan menawarkan banyak perlindungan bagi warga rentan di seluruh dunia," kata Macdonald.