Bisnis.com, JAKARTA - Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang adanya penggelembungan anggaran modul pelatihan guru pengawas Kurikulum 2013 mengundang perhatian beberapa pihak.
Intinya, pemerintah diharapkan bisa menjatuhkan sanksi bagi para pelaku, baik berupa sanksi administrasi, etik, maupun pidana.
Menurut mantan Rektor UIN Bandung Prof. Nanat Fatah Natsir, setiap pelanggaran yang ditemukan harus diproses secara hukum dengan menggunakan pendekatan prinsip hukum praduga tak bersalah.
"Proses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan perlakuan yang sama di depan hukum," kata Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Titik Handayani mengatakan bahwa temuan ICW mengenai indikasi penggelembungan anggaran pengadaan modul pelatihan guru pengawas Kurikulum 2013 sebaiknya tetap dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Meskipun masih indikasi dan nilainya kurang dari Rp1 miliar, seharusnya temuan di Malang dilaporkan ke KPK karena bila melihat sistem yang ada, sangat potensial modus tersebut terjadi di daerah lain," kata Titik Handayani.
Titik mengatakan bahwa kasus korupsi pengadaan buku memiliki kecenderungan selalu terulang karena kurangnya pengawasan dan mudahnya penggelembungan harga.
Selain itu, Titik mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang kerap berganti juga membuka peluang terjadinya korupsi selain menunjukkan Indonesia tidak memiliki desain besar untuk pendidikan.
"Pergantian kurikulum secara mendadak dan karut-marut dalam pelaksanaannya, termasuk Kurikulum 2013, merupakan indikasi tidak adanya 'grand design' pendidikan di Indonesia," tuturnya.
Selain itu, Titik mengatakan bahwa anggaran pendidikan yang tidak akuntabel juga merupakan hal yang sangat mudah untuk diselewengkan.
"Selama ini anggaran pendidikan di Indonesia cukup besar. Bila tanpa ada sistem yang akuntabel akan makin meningkatkan peluang terjadinya korupsi," katanya.
Titik juga menilai selama ini pendidikan di Indonesia juga tidak memiliki arah yang jelas. Menurut dia, rencana dan strategi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan cenderung hanya berisi target-target tanpa didasari pada filosofi dan arah pendidikan.
Penggelembungan Anggaran Wajar Pengamat pendidikan Darmaningtyas berpendapat bahwa penggelembungan anggaran dalam sebuah proyek merupakan hal yang wajar untuk mengantisipasi kekurangan biaya, asalkan selisih dalam penggunaannya dilaporkan dan dikembalikan.
"Kalau selisihnya tidak dilaporkan dan dikembalikan, itu benar-benar modus korupsi," katanya saat dimintai komentar mengenai temuan ICW tentang indikasi korupsi pengadaan modul pelatihan guru pengawas Kurikulum 2013.
Dalam penyusunan anggaran, kata Darmaningtyas, biasanya memang dilakukan penggelembungan rencana pengeluaran. Akan tetapi, pengeluaran riil akan ditekan dengan mencari harga yang termurah.
Namun, bila dalam proyek pengadaan nilai kontrak lebih tinggi daripada harga proyek yang dikerjakan, patut diduga terjadi korupsi.
Oleh karena itu, Darmaningtyas sangat menyayangkan bila temuan ICW tentang dugaan korupsi dalam pengadaan modul pelatihan guru pengawas oleh salah satu unit kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Malang benar-benar terjadi.
Ia mengatakan bahwa pendidikan karakter memerlukan keteladanan yang baik bagi para murid untuk tidak melakukan korupsi dan perbuatan tercela lainnya.
"Pendidikan karakter memerlukan keteladanan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus bisa memberi teladan," katanya.
Bila ingin melahirkan orang yang tidak korupsi, menurut Darmaningtyas, harus dimulai dari pendidikan yang tidak korupsi. Jangan ada korupsi di dunia pendidikan.
"Kalau untuk pelatihan guru saja dikorupsi, bagaimana guru bisa mengajarkan muridnya untuk tidak korupsi?" tanyanya.
Jamak Terjadi Sementara itu, dari informasi yang diterima Antara dari salah satu guru, penggelembungan dan penyelewengan anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta jajaran dinas di daerah sudah jamak terjadi.
Penggelembungan itu terjadi misalnya dalam kegiatan pelatihan yang diadakan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan guru. Sering kali pelaksanaan pelatihan tidak sesuai dengan anggaran dan jadwal yang sudah disusun sebelumnya.
"Misalnya, pelatihan dijadwalkan selama satu minggu. Dalam pelaksanaannya hanya lima hari karena panitia beralasan agendanya dipadatkan," kata guru itu.
Bagi peserta pelatihan, hal itu tentu menguntungkan karena pelatihan berlangsung lebih cepat sehingga bisa pulang lebih awal daripada yang dijadwalkan semula. Namun, yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah panitia.
Padahal, laporan pertanggungjawaban yang disusun panitia tetap sesuai dengan rencana anggaran dan jadwal yang disusun semula. Oleh karena itu, panitia akan mendapatkan selisih anggaran yang relatif cukup signifikan.
"Anggaran peserta yang bisa didapat, misalnya dari biaya penginapan dan konsumsi yang berkurang karena pelatihan selesai sebelum yang dijadwalkan. Itu belum dari pos anggaran yang lain," katanya.
Namun, karena anggaran sudah digelembungkan sebelumnya, tetap ada selisih anggaran yang tetap bisal dilaporkan dan dikembalikan. Padahal, panitia sudah mendapatkan keuntungan dari kegiatan yang dipadatkan itu.
Penundaan Kurikulum 2013 Beberapa pihak menilai salah satu alasan pemerintah menunda pelaksanaan Kurikulum 2013 adalah karena adanya dugaan korupsi di dalamnya. Keputusan penundaan Kurikulum 2013 itu mendapat reaksi beragam dari masyarakat. Ada yang pro dan kontra.
Guru besar sosiologi UIN Bandung Nanat Fatah Natsir mendukung kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 karena tidak didukung data penelitian yang menyatakan lebih baik daripada Kurikulum 2006.
"Pelaksanaan Kurikulum 2013 juga kurang memperhitungkan kesiapan guru dan buku yang digunakan. Kurikulum 2013 juga kurang sosialisasi sehingga terkesan terburu-buru dan seperti dipaksakan," katanya.
Nanat mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang sudah terlanjur menerapkan Kurikulum 2013 lebih baik dijadikan sebagai proyek percontohan yang hasilnya kemudian dibandingkan dengan sekolah yang menggunakan Kurikulum 2006.
Menurut Nanat, selama ini siswa, orang tua, dan guru selalu dibingungkan dengan kebijakan pendidikan, terutama kurikulum, yang terus berubah setiap ada pergantian menteri pendidikan.
Oleh karena itu, Nanat mengusulkan adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Perlu ada revisi UU Sisdiknas yang mengatur pemberlakuan kurikulum, misalnya sekurang-kurangnya 10 tahun atau 15 tahun, sehingga tidak terjadi setiap ganti menteri ganti kurikulum. Pada akhirnya siswa yang menjadi korban," tuturnya.
Menurut Nanat, pergantian kurikulum yang terus terjadi dalam waktu singkat menunjukkan Indonesia merupakan bangsa yang belum berhasil dalam membangun pendidikan. Pada akhirnya kualitas siswa Indonesia berada di bawah kualitas siswa negara lain.
Percetakan Merugi Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) mengaku kecewa dan dirugikan karena penerapan terbatas Kurikulum 2013 secara sepihak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.
"Kami sangat dirugikan dengan keputusan Mendikbud karena sudah mencetak buku-buku yang dipesan," ujar Ketua Umum PPGI Jimmy Juneanto.
Jumlah buku yang dipesan oleh sekolah-sekolah pada semester satu tahun ajaran 2014/2015 mencapai 245 juta eksemplar dengan nominal Rp3,1 triliun.
Sementara itu, untuk semester dua, buku yang dipesan sebanyak 267 juta eksemplar dengan nilai Rp1,9 triliun.
"Penyaluran buku untuk semester pertama mencapai 95 persen, sementara yang sudah dibayar baru 48 persen," keluh dia.
Penyaluran buku untuk semester dua baru 60 persen, dan belum dibayar sama sekali. Padahal, sejumlah perusahaan percetakan tersebut kejar tayang mengejar target yang diminta Kemdikbud.
Penerapan terbatas Kurikulum 2013, lanjut dia, mengejutkan banyak pihak karena Mendikbud tidak berkonsultasi pada PPGI terlebih dahulu