Bisnis.com, TOKYO - Setelah terkontraksi dua kuartal berturut-turut, pertumbuhan Jepang pada kuartal akhir tahun ini dan sepanjang tahun depan diprediksi tidak akan naik signifikan.
Head of Equity UBS Wealth Management, Harmut Issel menyampaikan dirinya pesimistis pertumbuhan Negeri Sakura mendatang akan memasuki area positif, karena belanja konsumen yang merupakan pendorong utama pertumbuhan masih lemah.
"Kalau kita lihat, perlemahan harga minyak dunia saat ini akan membantu Jepang untuk menstabilkan permintaan konsumen dalam jangka pendek. Akan adareboundtipis dari penurunan harga minyak yang menutupi tingginya harga akibat kenaikan pajak penjualan," kata Issel dalam sebuah wawancara di Bloomberg TV,Rabu (10/12/2014).
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Jepang kembali terkontraksi 1,9% pada kuartal III setelah pada kuartal sebelumnya terkontraksi 7,3%. Resesi ini disebabkan terutama oleh kebekuan belanja konsumen yang semestinya menyumbang 60% produk domestik bruto (PDB) negara itu.
Belanja konsumen kian lesu, setelah Perdana Menteri Shinzo Abe menaikkan pajak penjualan 3 persentase poin ke level 8% per 1 April lalu dengan tujuan menekan lambungan utang publik Jepang yang nilainya telah melampui 1000 triliun yen atau setara US$8,3 triliun.
Selain penurunan harga minyak dunia, Issel menyampaikan pada awal tahun depan stimulus yang terus dikucurkan pemerintah maupun bank sentral diharapkan mulai memperlihatkan efek positif terhadap belanja domestik.
Terkait perlemahan belanja domestik, data Cabinet Office yang juga dipublikasikan Rabu menunjukkan keyakinan konsumen Jepang kembali merosot pada November, duduk di indeks 37,7, terendah sejak April.
Survei Bank of Japan (BoJ) yang dipublikasikan Selasa (9/12) menunjukkan keyakinan bisnis Jepang stagnan pada bulan keempatnya.