Bisnis.com, JAKARTA – Kendati dihadapkan pada sejumlah risiko perlambatan, Indonesia diyakini dapat tumbuh 6% sepanjang 2015-2019. Pertumbuhan mulai tahun depan dinilai akan sangat bergantung pada langkah-langkah reformasi yang diimplementasikan Presiden Joko Widodo.
Laporan bertajuk Economic Outlook for Southeas Asia, China and India 2015 yang dirilis Sekretariat Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan bahwa pertumbuhan Indonesia bergantung pada implementasi reformasi pemerintahan baru.
“Perekonomian Indonesia tahun depan masih akan terdongkrak dari tingginya permintaan domestik dan implementasi reformasi kabinet pemerintahan Jokowi, pemangkasan subsidi bahan bakar misalnya,” ungkap laporan yang dipublikasikan Kamis (13/11/2014).
Meski konsumsi domestik tetap menjadi pendorong tertinggi pertumbuhan, Jokowi tetap didorong untuk memangkas BBM karena langkah tersebut merupakan asistensi negara untuk menciptakan program-program pembangunan masyarakat miskin.
Adapun, proyeksi rata-rata 6% tersebut lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan Indonesia pada rentang 2011-2013 yaitu 6,2%. Dalam outlook yang dipublikasikan tahun lalu, ASEAN-OECD pun memproyeksikan Indonesia tumbuh rata-rata 6,0% tahun 2014-2018.
Sebelumnya, lembaga internasional lain juga telah memproyeksikan pertumbuhan Indonesia. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan Indonesia tahun depan adalah 5,2%, sedangkan Asian Development Bank (ADB) mematok pertumbuhan tahun depan 5,8%, tingkat yang sama dengan yang dikunci pemerintah dalam APBN.
Kendati demikian, meski tidak menyebutkan secara spesifik mengenai Indonesia, ASEAN-OECD mengakui bahwa sejumlah risiko eksternal masih mengintai pertumbuhan negara-negara berkembang Asia.
Beberapa risiko tersebut misalnya normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, ketidakpastian perekonomian Zona Euro, perlemahan Jepang yang masih menggantungkan diri pada Abenomics, dan perlambatan raksasa Asia, China.
"Negara-negara Asia, juga Indonesia sudah memiliki instrumen penangkal. Tapering yang dilakukan The Fed itu sudah dilakukan sejak tahun lalu. Investor juga sudah antisipasi, jadi dampak normalisasi The Fed itu limited," tutur Direktur OECD Development Centre, Mario Pezzini saat dihubungi Bisnis.
Namun, ASEAN-OECD menggarisbawahi mengenai daya tahan negara-negara berkembang Asia yang seharusnya lebih mumpuni dalam mempersiakan instrumen penangkal, mengingat kawasan ini mampu bangkit dari krisis finansial global 2009 lalu.
Sementara itu, beberapa tantangan internal yang juga dinilai harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia yakni tingginya perilaku korupsi di antara pegawai negeri dan pengambil keputusan, dan tingginya minat pekerjaan pada sektor-sektor informal.
Di sisi lain, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 Indonesia pun menjadi sorotan. Sejumlah pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan pembangunan infrastruktur masih belum tercapai menjelang berakhirnya program tersebut.
Laporan tersebut mencatat ketimpangan Indonesia masih cukup besar, berada di indeks 0,41. Meski pemerintah terus mengupayakan sistem jaminan sosial, masih banyaknya masyarakat yang tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan menunjukkan pelayanan sosial masyarakat masih lemah.
Sorotan lainnya yang dinilai patut menjadi prioritas pemerintah yaitu kian melebarnya current account deficit (CAD) dalam beberapa tahun terakhir, yang ditutup dengan anjloknya ekspor hingga kuartal III/2014. Pada 2013 lalu,defisit CAD Indonesia mencapai 3,3% dari total PDB.
Laporan bertajuk Economic Outlook for Southeas Asia, China and India 2015 yang dirilis Sekretariat Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan bahwa pertumbuhan Indonesia bergantung pada implementasi reformasi pemerintahan baru.
“Perekonomian Indonesia tahun depan masih akan terdongkrak dari tingginya permintaan domestik dan implementasi reformasi kabinet pemerintahan Jokowi, pemangkasan subsidi bahan bakar misalnya,” ungkap laporan yang dipublikasikan Kamis (13/11) tersebut.
Meski konsumsi domestik tetap menjadi pendorong tertinggi pertumbuhan, Jokowi tetap didorong untuk memangkas BBM karena langkah tersebut merupakan asistensi negara untuk menciptakan program-program pembangunan masyarakat miskin.
Adapun, proyeksi rata-rata 6% tersebut lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan Indonesia pada rentang 2011-2013 yaitu 6,2%. Dalam outlook yang dipublikasikan tahun lalu, ASEAN-OECD pun memproyeksikan Indonesia tumbuh rata-rata 6,0% tahun 2014-2018.
Sebelumnya, lembaga internasional lain juga telah memproyeksikan pertumbuhan Indonesia. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan Indonesia tahun depan adalah 5,2%, sedangkan Asian Development Bank (ADB) mematok pertumbuhan tahun depan 5,8%, tingkat yang sama dengan yang dikunci pemerintah dalam APBN.
Kendati demikian, meski tidak menyebutkan secara spesifik mengenai Indonesia, ASEAN-OECD mengakui bahwa sejumlah risiko eksternal masih mengintai pertumbuhan negara-negara berkembang Asia.
Beberapa risiko tersebut misalnya normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, ketidakpastian perekonomian Zona Euro, perlemahan Jepang yang masih menggantungkan diri pada Abenomics, dan perlambatan raksasa Asia, China.
"Negara-negara Asia, juga Indonesia sudah memiliki instrumen penangkal. Tapering yang dilakukan The Fed itu sudah dilakukan sejak tahun lalu. Investor juga sudah antisipasi, jadi dampak normalisasi The Fed itu limited," tutur Direktur OECD Development Centre, Mario Pezzini saat dihubungi Bisnis.
Namun, ASEAN-OECD menggarisbawahi mengenai daya tahan negara-negara berkembang Asia yang seharusnya lebih mumpuni dalam mempersiakan instrumen penangkal, mengingat kawasan ini mampu bangkit dari krisis finansial global 2009 lalu.
Sementara itu, beberapa tantangan internal yang juga dinilai harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia yakni tingginya perilaku korupsi di antara pegawai negeri dan pengambil keputusan, dan tingginya minat pekerjaan pada sektor-sektor informal.
Di sisi lain, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 Indonesia pun menjadi sorotan. Sejumlah pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan pembangunan infrastruktur masih belum tercapai menjelang berakhirnya program tersebut.
Laporan tersebut mencatat ketimpangan Indonesia masih cukup besar, berada di indeks 0,41. Meski pemerintah terus mengupayakan sistem jaminan sosial, masih banyaknya masyarakat yang tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan menunjukkan pelayanan sosial masyarakat masih lemah.
Sorotan lainnya yang dinilai patut menjadi prioritas pemerintah yaitu kian melebarnya current account deficit (CAD) dalam beberapa tahun terakhir, yang ditutup dengan anjloknya ekspor hingga kuartal III/2014. Pada 2013 lalu,defisit CAD Indonesia mencapai 3,3% dari total PDB.