Bisnis.com, SEMARANG — Pakar Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang FX Sugianto menilai identifikasi subjek pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I tidak tepat sasaran sehingga realisasi penerimaan pajak tidak mencapai 100%.
Data DJP Jateng I menyebutkan penerimaan pajak tahun ini diperkirakan hanya Rp16.860 triliun, atau 95% dari total target senilai Rp17.747 triliun.
Sugianto mengatakan tidak tercapainya penerimaan pajak karena sejak awal identifikasi sasaran atau subjek wajib pajak (WP) terlalu lemah. Perolehan pajak diperoleh dari Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas, Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkebunan, perhutanan, serta pertambangan.
“Untuk PPh perseorangan mungkin bisa dipotong langsung dari perusahaan bersangkutan. Kalau PPh dari perusahaan itu yang rawan pengemplangan pajak,” katanya kepada Bisnis, Selasa (11/11).
Kendati demikian, Sugianto menyatakan realisasi penerimaan pajak akan maksimal pada akhir tahun atau tutup buku perusahaan. Tidak hanya itu, petugas pajak harus bekerja proaktif terhadap WP yang memiliki kewajiban membayar pajak sesuai ketentuan berlaku.
Satu sisi, Sugianto mengatakan adanya oknum pajak yang terjerat tindak pidana korupsi membuat image buruk di kalangan masyarakat luas.
“Kami belum mengukur seberapa persen pengaruhnya terhadap penurunan ketaatan badan dan perorangan dalam membayar pajak atas peristiwa tersebut,” ujarnya.
Pihaknya berharap penangkapan oknum pajak yang merugikan uang negara itu menjadi pembelajaran berharga dan mengembalikan kepercayaan masyarakat akan pentingnya membayar pajak. Penilaian masyarakat terhadap petugas pajak, ujar Sugianto, akan baik jika ada contoh konkrit petugas bersangkutan.
“Misalnya, semakin banyak masyarakat tidak membayar pajak akan semakin merugikan negara. Karena pendapatan negara jelas berkurang,” paparnya.
Kepala Kanwil DJP Jateng I Edi Slamet Irianto mengakui banyak kasus yang menimpa oknum pajak dapat mempengaruhi psikologi petugas pajak yang bertugas di lapangan. Hal itu membuat masyarakat seolah-olah terus memojokkan petugas pajak saat meminta iuran kewajiban bayar pajak.
“Kalau ini dibiarkan akan berbahaya. Mestinya seluruh masyarakat mendukung upaya kepatuhan membayar pajak. Namun juga tetap kritis ketika mendapati oknum pajak yang melanggar hukum. Kan imbang, jangan dipukul rata,” katanya.
Edi mengelak petugas pajak kurang selektif dalam mengidentifikasi perusahaan yang dikenakan wajib pajak. Pihaknya berdalih tidak tercapainya penerimaan pajak lantaran sebagian perusahaan besar di Jawa Tengah membayar pajak di pusat.
“Jika dilihat pembayaran untuk pembayaran pajak nasional tidak bermasalah. Tapi untuk mengukur perwilayah akan menjadi persoalan, tax rasio di daerah perolehannya jadi kecil. Makanya penerimaan pajak tiap tahun tidak bisa mencapai 100%,” katanya.
Dia mengatakan PPh Non Migas ada pertumbuhan sebesar 25,16%, triwulan III/2014 ini penerimaan sebesar Rp5,8 triliun sedangkan tahun sebelumnya pada periode sama hanya Rp4,6 triliun. Kemudian sektor PPN dan PPnBM tumbuh 21,55% dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp3,7 triliun kini mencapai Rp4,5 triliun.
Sementara, sektor pajak lain yang terdiri atas bea materai, pajak tidak langsung, dan bunga penagihan ada kenaikan 6,94% yang pada tahun ini sebesar Rp147,76 miliar sedangkan tahun lalu Rp137,7 miliar.
Edi menjelaskan, pertumbuhan positif terhadap penerimaan pajak itu juga dipengaruhi karena peningkatan jumlah wajib pajak (WP) yang signifikan pada tahun 2014 ini. Hingga sekarang jumlah WP yang terdaftar mencapai 1.360.204 orang atau naik 22,15% dibandingkan jumlah WP pada 2013 sebanyak 1.113.511 orang.