Bisnis.com, TOKYO – Dikucurkannya kembali stimulus oleh bank sentral Jepang akhir pekan lalu memperbesar kemungkinan Perdana Menteri Shinzo Abe merealisasikan rencananya untuk kembali menaikkan pajak penjualan.
Hal tersebut merupakan kesimpulan survei Bloomberg pada sejumlah ekonom. Kendati merupakan keputusan yang tiba-tiba, Abe dinilai dapat menarik kesempatan dari keputusan tersebut untuk mengendalikan lambungan utang publik Negeri Sakura.
“Kebijakan dari kedua otoritas tersebut akan menentukan apakan program Abenomics berhasil mengelola strategi kebijakan moneter,” ungkap laporan Moody’s Investors Service yang dipublikasikan di Tokyo, Selasa (4/11/2014).
Desember ini, Abe akan memutuskan apakah ia akan kembali menaikkan pajak penjualan menjadi 10%. Kenaikan pertama menjadi 8% dari sebelumnya 5% telah diralisasikan Abe pada 1 April lalu. Sejak kenaikan pajak penjualan tersebut, belanja masyarakat dan bisnis kian tergerus.
Seperti diketahui, 30 Oktober lalu BoJ menambah basis moneter menjadi 80 triliun yen atau setara US$712 miliar dari sebelumnya 60 triliun yen - 70 triliun yen. Keputusan ini ditetapkan Kuroda setelah data menunjukkan inflasi September berada di level 1% dan penjualan retail anjlok 5,6%.
Selain kebijakan stimulus yang diputuskan Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda tersebut, pertumbuhan kuartal III pun diharapkan dapat mendukung rencana Abe. Adapun, kenaikan pajak penjualan telah menjadi penyebab utama terkontraksinya ekonomi jepang 7,1% kuartal II lalu.
Sementara itu, sejak penetapan stimulus BoJ, Menteri Keuangan Jepang Taro Aso angkat bicara. Ia menuturkan bahwa stimulus tersebut bertujuan untuk menyudahi deflasi Jepang. Aso juga berjanji untuk mempertahankan dampak biaya impor yang lebih tinggi pada perusahaan-perusahaan Jepang.
“Secara umum, perlemahan yen akan berdampak positif pada eksportir. Namun importir akan menghadapi biaya impor yang lebih tinggi, kita patut memperhatikan hal ini,” ungkap Aso.