Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RATIFIKASI FCTC: Jika Tanda Tangan di Penghujung Jabatan, Presiden SBY Dinilai Kurang Etis

Beberapa pihak masih berupaya mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa pihak masih berupaya mendesak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Padahal, Presiden SBY akan mengakhiri masa jabatanya 4 hari lagi, yaitu saat Pelantikan Presiden terpilih Jokowi-JK pada 20 Oktober 2014.

"Kalau bicara etika pemerintahan, jika dipenghujung periode Presiden meratifikasi rasanya Presiden kurang beretika," ujar ahli hukum tata negara, Refly Harun kepada wartawan, ditulis Kamis (16/10/2014).

Dia menilai keputusan ini hanya akan membebani pemerintahan berikutnya.
Terlebih FCTC adalah salah satu produk kebijakan strategis. Karena ada masyarakat yang menerima dan ada yang menolak, maka produk kebijakannya bakal kontroversial.

"Ini bakal menjadi beban bagi pemerintah selanjutnya, beban itu dinilai dari tingkat kontroversinya," ujar Refly.

Refly menegaskan kebijakan tembakau ini menyangkut kepentingan rakyat banyak, karena itu prosesnya tidak mudah. Presiden sebaiknya mengajak DPR untuk duduk bersama membahas rencana ini, bukan meratifikasi secara sepihak.

Maka, tambah Refly, sangat tidak baik tidak bisa ditetapkan dalam kurun waktu kurang dari 10 hari sisah pemerintahan. "Ini menyangkut rakyat banyak, jadi Harus persetujuan DPR, bukan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres)," ujarnya.

Sebelumnya, senada dengan Rafly, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan, jika Presiden SBY memutuskan mengaksesi FCTC bisa diartikan sebagai tindakan abai pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya.

“Kalau Pemerintah ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat, salah satu yang dapat dilakukan adalah berlaku adil terhadap kelompok petani, termasuk dari komoditas tembakau,” kata Hikmahanto.

Dia menambahkan, bertani tembakau sudah menjadi tradisi turun temurun sebagian masyarakat Indonesia dalam mencapai kesejahteraan. Dukungan Pemerintah terhadap kelangsungan pertanian tembakau adalah bagian dari perwujudan kesejahteraan tersebut.

“Terwujudnya kesejahteraan masyarakat adalah kewajiban bersama yang harus melibatkan semua stakeholders. Maka Kementerian Kesehatan dan sekutunya tidak berkompeten untuk meratifikasi FCTC,” papar Hikmahanto.

Peneliti Senior Lembaga Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) Profesor Kabul Santoso meminta Presiden SBY untuk tidak menuruti keinginan beberapa pihak untuk segera mengaksesi FCTC tembakau (Framework Convention on Tobacco Control).

“Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan negara,” jelas dia.

MPKKI berharap di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY tetap tidak mengaksesi FCTC. Sikap Presiden SBY bila menolak meneken FCTC itu merupakan wujud perlindungan terhadap keberlangsungan industri nasional tembakau dari hulu ke hilir.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Editor : Sepudin Zuhri
Sumber : Newswire

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper