Bisnis.com, TANGERANG—Pemerintah Provinsi Banten menyatakan tidak adanya grand strategi industri yang berkualitas mengakibatkan pertumbuhan industri besar dan sedang di provinsi ini tidak berdampak pada pengurangan angka pengangguran dan kemiskinan.
Kepala Bidang Industri Agro dan Kimia Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten Rudiansyah Thoib mengatakan kendati memiliki 19 kawasan industri yang diisi oleh 1.583 unit industri besar dan sedang (IBS), tingkat pengangguran terbuka Banten mencapai 9,9%.
“Angka pengangguran yang tinggi mengindikasikan kesalahan pola urus. Yang terjadi sekarang eksodus tenaga kerja dari luar Banten bahkan tenaga kerja asing,” ujarnya di Tangerang, Selasa (16/9).
Dari jumlah IBS itu, tuturnya, penyerapan tenaga kerja mencapai 473.000 jiwa. Sementara dari jumlah industri kecil yang mencapai 96.387 unit di Banten, hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 727.000 jiwa, dan jumlah UMKM yang mencapai 984.118 unit menyerap 1,8 juta jiwa.
Padahal, ujarnya, jumlah penduduk Banten kini mencapai 9 juta jiwa. Permasalahan lain, ujarnya, persebaran industri terjadi tidak merata. Di Kabupaten Tangerang misalnya terdapat 682 unit perusahaan industri pengolahan, sementara di Kabupaten Pandeglang hanya berjumlah 12 unit.
Kendati kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Banten pada tahun lalu menjadi yang terbesar dengan 48,58% , nilai investasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) 10 besar secara nasional, namun, rendahnya kualitas tenaga kerja menghambat pertumbuhan industri.
Rendahnya kualitas SDM, tuturnya, terlihat dari struktur jenjang pendidikan pekerja Banten yang mencapai 4,6 juta jiwa, 39% didominasi oleh SD ke bawah, SMP dan SMA masing-masing 19%, SMk 12%, sementara pendidikan Diploma dan Universitas hanya 3% dan 8%.
Selain itu, berdasarkan hasil survei Agustus 2013, dari total 509.286 penduduk usia 15 tahun ke atas, hanya 1% atau 4.721 penduduk yang memiliki dua sertifikat pelatihan, 2% atau 8.282 jiwa memiliki satu sertifikat pelatihan dan sisanya 97% tidak memiliki sertifikat pelatihan apapun.
“Grand design pembangunan industri seharusnya dibuat bersama-sama oleh seluruh stakeholder, tidak hanya Kementerian Perindustrian, namun juga melibatkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan lainnya,” tuturnya.
Yang lebih parah lagi, lanjutnya, dari 198 kawasan berikat yang terdapat di Banten, hampir seluruhnya memiliki fasilitas pelabuhan mandiri. Hal itu, lanjutnya, menyulitkan Ditjen Bea dan Cukai dalam melakukan pengawasan.
Muhammad Khayam, Direktur Industri Kimia Dasar pada Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur mengatakan pemerintah kendati indusri manufaktur Indonesia masih kalah dengan Thailand, Malaysia, Vietnam, namun, ke depan sektor industri akan menjadi lokomotif perekonomian Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia kini tengah fokus meningkatkan kualitas pertumbuhan industri, salah satunya melalui menciptakan tenaga kerja terampil dan berdaya saing melalui lembaga sertifikasi dan regulasi batas minimal jenjang pendidikan.
“Salah satunya dengan mendirikan Center of Excellence (CoE) Petrokimia di Cilegon yang akan menjadi pusat pelatihan dan riset industri Petrokimia nasional,” ujarnya di Tangerang.
Lembaga ini, tuturnya, akan menciptakan tenaga kerja terampil bersertifikat. Oleh karena itu, dalam pengelolaannya Kemenperin akan bekerja sama dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Pusdiklat dan perguruan tinggi.
Rudiansyah mengatakan CoE Petrokimia dapat menciptakan keseimbangan suplai tenaga kerja kepada industri manufaktur. Tingginya angka pengangguran yang didominasi di Kab. Pandeglang dan Lebak, harus dimanfaatkan menjadi penyuplai tenaga kerja terampil setelah mengikuti pelatihan di CoE Petrokimia.
“Kami berharap konsep ini dapat terlaksana. Dua kabupaten memiliki jumlah pengangguran tertinggi. Oleh karena itu harus diberi pelatihan dan dijadikan tenaga kerja terampil yang berkualitas,” tuturnya.