Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dituntut untuk serius mengungkap otak yang sebenarnya di balik mafia calo tanah di Karawang, Jawa Barat.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan ada indikasi para mafia tanah itu tidak hanya berkolaborasi dengan oknum birokrasi di daerah tersebut, tetapi juga dengan oknum mafia hukum.
Menurutnya, saat ini mafia tanah itu bukan hanya calo tanah biasa, tetapi sudah bisa masuk ke birokrasi melalui praktik jual-beli izin.
“Dalam situasi seperti itulah, jaringan mafia tanah terbentuk,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (9/9/2014).
Sementara itu, aktivis Jaringan Advokat Publik William A Zai menambahkan hasil investigasi dan analisis lembaganya terkait keberadaan mafia calo tanah di Karawang, diduga kuat didalangi oleh oknum pengusaha berinisial AS.
Menurut William, Jaringan Advokat Publik sebagai lembaga yang menaruh perhatian terhadap penegakan hak-hak publik, mengkhawatirkan menguatnya posisi mafia calo tanah di Karawang akan berdampak pada terabaikannya hak-hak publik yang sesungguhnya.
William menunjukkan hasil analisis terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1646 K/Pid/2007 dengan terdakwa mantan Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang, Mohammad Darundia.
Darundia didakwa bersama-sama dengan pihak lain merugikan keuangan negara Rp3,04 miliar karena tanpa meneliti dan tanpa dasar menyatakan tanah pengangonan seluas lebih kurang 30 hektare di Desa Margakaya, Kecamatan Telukjambe, Kabupaten Karawang, adalah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang.
“Padahal, jaksa menyatakan tanah itu milik negara. Alhasil pada 2003, tanah itu dilepas kepada pihak swasta,” tegasnya.
Perkara itu berawal dari adanya permohonan izin lokasi dari PT Alam Hijau Lestari dengan surat permohonannya No. 010/AHL/PIL/X/2 Tanggal 03 Oktober 2002 tentang Permohonan Izin Lokasi Pemakaman Terpadu dan Wisata seluas lebih kurang 150 hektare.
Pada 1989, pengusaha berinisial AS membebaskan tanah tersebut dari para penggarap dengan harga yang lebih murah. Harga jual yang seharusnya Rp3,04 miliar malah menjadi hanya Rp2,4 miliar.
William mengatakan, diduga kuat terjadi pencederaan terhadap rasa keadilan publik dalam putusan kasasi yang berujung membebaskan terdakwa tersebut.
Putusan itu tidak secara mendalam mengungkap siapa sebenarnya pihak pengusaha yang menjadi otak di balik kasus pidana itu.
“Namun, setidaknya perkara itu menunjukkan indikasi bahwa mafia tanah itu ada dan menggurita,” kata William.
Sebelumnya, terungkap oleh KPK kasus pemerasan oleh Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya yang juga anggota DPRD Karawang, Nurlatifah terhadap pihak PT Tatar Kertabumi berkaitan dengan izin pertanahan di Karawang.
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dengan jerat pasal pemerasan.