Bisnis.com, TANGERANG—Badan Pusat Statistik Provinsi Banten menyatakan jumlah penduduk miskin di Banten pada Maret 2014 mengalami penurunan sebanyak 54.670 jiwa atau 0,54% dari jumlah penghitungan terakhir pada September 2013 yang mencapai 677. 510 jiwa.
Syech Suhaimi, Kepala BPS Provinsi Banten, mengatakan penyebab berkurangnya jumlah penduduk miskin Banten pada periode ini karena upah buruh tani, bangunan, dan rumah tangga secara riil naik pada rentang waktu September 2013 hingga Maret 2014.
“Selain itu, inflasi yang relatif rendah yakni 3,14% pada periode September 2013-Maret 2014 ditambah dengan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2014 yang cukup baik yakni 5,2% juga berperan mengurangi angka kemiskinan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (20/7/2014).
Data menunjukkan jumlah penduduk miskin di Banten per Maret 2014 sebanyak 622.840 jiwa dari total keseluruhan penduduk Banten menurut Biro Pemerintahan Provinsi Banten yang mencapai 10.471.312 jiwa.
BPS mengatakan penurunan jumlah penduduk miskin terjadi secara merata baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Namun begitu, jumlah penduduk miskin di perkotaan terhitung lebih banyak dibandingkan dengan perdesaan yakni masing-masing mencapai 375.690 jiwa dan 247.140 jiwa.
Kategori penduduk miskin menurut BPS adalah penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan yang terdiri dari dua komponen yakni garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan.
Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari, yang diwakili oleh 52 jenis komoditi makanan seperti beras, ikan, daging telur dan lainnya.
Sementara garis kemiskinan bukan makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatanyang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
Menurutnya Syech, peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan dengan peranan komoditi bukan makanan. Pada Maret 2014, kontribusi GKM terhadap garis kemiskinan tercatat sebesar 71,03%.
Adapun sejumlah komoditi makanan yang berperan paling signifikan atas jumlah penduduk pada garis kemiskinan di daerah perkotaan adalah harga beras dengan andil 23,29%, rokok kretek filter 13,83%, telur ayam ras 3,47%, mie instan 2,96% dan daging ayam ras dengan kontribusi 2,3%. Porsi ini tidak berbeda jauh dengan penyebab garis kemiskinan di perdesaan.
Sementara itu, Dahnil Anzar Simanjuntak pengamat ekonomi politik Banten mengatakan indikator utama dari penurunan jumlah penduduk miskin baik di Banten maupun secara nasional adalah terjaganya tingkat inflasi.
Adapun laju pertumbuhan ekonomi yang hasilnya relatif kecil pada kuartal pertama 2014, tuturnya, tidak berdampak secara signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan di Banten.
“Harus di akui upaya pemerintah pusat dalam mengontrol kenaikan inflasi telah berhasil meredam kenaikan jumlah penduduk miskin baik secara nasional maupun di Banten,” tuturnya.
Inflasi, tuturnya, menjadi indikator paling penting dalam naik/turunnya angka kemiskinan di Indonesia, karena, aspek ini yang paling mempengaruhi daya beli masyarakat. Ketika inflasi rendah, maka daya beli masyarakat semakin tinggi dan menekan angka kemiskinan.
Namun begitu, Dahnil mengkhawatirkan seusai terpilihnya Presiden Indonesia yang baru, kebijakan menghapus subsidi bahan bakar minyak dapat mengerek tinggi angka inflasi dan menambah jumlah penduduk miskin di Banten maupun Indonesia.
“Kuota subsidi BBM yang akan habis pada Agustus mendatang, maka menjadi penguat bahwa kebijakan yang akan diambil oleh presiden terpilih adalah pencabutan subsidi BBM,” ujarnya.
Tren Kemiskinan
Namun begitu, tidak hanya penurunan angka kemiskinan yang perlu di perhatikan oleh pemerintah, tetapi juga kualitas kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. Tren angka kemiskinan yang terus turun di Banten, lanjutnya, selalu diiringi oleh semakin terpuruknya kemampuan orang miskin di Banten.
Kesenjangan penduduk miskin dan tidak miskin akhir-akhir ini semakin melebar. Oleh karena itu, melihat realita di lapangan, bahaya terburuk yang dihadapi oleh pemerintah bukan hanya turun/naiknya angka kemiskinan, melainkan juga kesenjangan kemiskinan yang semakin melebar.