Bisnis.com, JAKARTA—Umat Islam diseluruh dunia di wajibkan berpuasa pada bulan Ramadan. Meskipun demikian, karena sesuatu hal, ada kalanya puasa seseorang tidak bisa dilakukan secara penuh.
Dikutip dari laman resmi Nahdlatul Ulama, ada beberapa pendapat yang mengatur hukum mengenai boleh tidaknya membatalkan puasa Ramadan. Penjelasannya sebagai berikut :
Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara`(‘udzr syar’i) para ahli berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadan.
Sedangkan menurut madzhab Syafii, orang yang sengaja membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’ saja. Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah.
Akan tetapi, Berkaitan dengan penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadan berikutnya. Dalam kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah.
Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun penundaanya.
Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.