Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pertambangan Indonesia mengapresiasi terhadap upaya Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam memberikan sosialisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) dan Dumping Limbah B3.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertambangan Indonesia Toni Wenas mengatakan draf RPP Limbah B3 yang dibahas tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pihaknya mengapresiasi KLH yang berupaya melibatkan pelaku industri dan stakeholder terkait.
“Secara umum ini lebih baik dari sebelumnya. Namun draf secara keseluruhan kami harus melihat detail, karena draf baru diberikan Senin kemarin,” papar Toni saat ditemui disela-sela Diskusi Publik Pembahasan RPP Limbah B3, Kamis (6/2/2014).
Toni mengatakan saat ini belum bisa berkomentar terlalu jauh untuk mengkritisi lebih jauh draf terbaru dari RPP tersebut. Pasalnya, ada beberapa bab dan pasar yang secara detail memaparkan regulasi pengelolaan limbah B3.
“Kami akan membahas ini dengan pertemuan lanjutan. Pihak Kadin juga dilibatkan. Dan muaranya Kadin dan pengusaha memberikan keterangan resmi kepada media pada pekan depan,” terangnya.
Sementara itu, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) keberatan dengan RPPL imbah B3 yang saat ini masih dalam pembahasan. Mereka menganggap RPP Limbah B3 bertentangan dengan Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo mengatakan RPP Limbah B3 belum berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesehatan. Menurutnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) salah menafsirkan Pasal 60 dan 61 UU PPLH yang dianggap sebagai dasar bagi ketentuan pembuangan limbah B3.
“RPP Limbah B3 ini mengizinkan pembuangan limbah B3 ke media lingkungan yang jelas-jelas merupakan larangan dalam UU PPLH,” papar Henri saat ditemui dalam Diskusi Publik, Kamis (6/2).
Henri mengatakan kewenangan pemberian izin bagi pemerintah daerah dianggap memberikan resiko cukup besar bagi lingkungan dan kesehatan. Pemerintah tidak belajar atas kewenangan pemberian izin-izin yang berdampak pada lingkungan dan sumber daya alam. Pihaknya mengingatkan bahwa UU PPLH jelas-jelas memberikan mandat kepada pemerintah pusat untuk mengurus soal limbah B3. Namun kenyataannya, sejak diberikan kewenangan izin pada pemerintah daerah ternyata justru memicu kerusakan yang luar biasa.
“Persoalannya cukup kompleks, mulai dari mindset pemerintah daerah dalam memandang izin sebagai pemasukan hingga kapasitas teknis yang dimilikinya. Maka dari itu, pemerintah pusat jangan cuci tangan dalam hal ini,” terangnya.
Deputi Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya, Beracun dan Sampah Rasio Ridho Sani mengatakan secara umum semua asosiasi dan pelaku usaha terkait mendukung RPP tersebut. Dia mengklaim RPP sudah memperhatikan kepentingan berbagai pihak.
“Dengan memperhatikan perkembangan teknologi, dimana kita mendorong asas manfaat. Dengan teknologi yang ada maka potensi pemanfaatan limbah B3 ini sebagai bahan baku masih dimungkinkan,” papar Ridho.
Dia mengatakan dalam RPP itu mengatur cukup detail, sehingga diharapkan lebih bisa dioperasionalisasikan lebih baik dari sebelumnya.
Ridho juga membantah RPP bertentangan dengan UU No. 32/2009 tentang PPLH. Mereka hanya menyarankan mandat itu diberikan kepada Menteri Lingkungan Hidup sepenuhnya sesuai amanat UU.
“Dalam hal ini pengelolaan limbah B3 tidak hanya Kementerian LH, namun melibatkan juga pemerintah daerah,” terangnya.