Bisnis.com, TOKYO - Defisit transaksi berjalan Jepang pada November melebar akibat jumlah impor yang naik.
Hal tersebut menjadi tantangan bagi Perdana Menteri Shinzo Abe dalam usaha mendorong perbaikan ekonomi yang bekelanjutan.
Melemahnya yen dan meningkatnya permintaan tambahan energi karena shutdown proyek nuklir menaikkan tagihan impor Jepang di tengah sorotan program pemulihan ekonomi dengan menaikkan pajak penjualan pada April 2014.
Menurut data Departemen Keuangan pada Selasa (14/1/2014), defisit transaksi berjalan mencapai 592,8 miliar yen atau setara dengan US$5,7 miliar, kekurangan terbanyak dari perdagangan. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata perkiraan hasil survei Bloomberg yakni 368,9 miliar yen.
Hal ini menimbulkan sebuah risiko jangka panjang bagi Jepang, karena melebarnya defisit transaksi berjalan secara berkelanjutan akan melemahkan kepercayaan investor obligasi pemerintahan.
“Defisit harus segera menyusut secara bertahap, seiring dengan pemulihan ekonomi global,” ujar Kazuhiko Ogata, Kepala Ekonom Credit Agricole di Tokyo dalam sebuah siaran pers.
Defisit yang terjadi merupakan yang terbesar sejak 1985. Saham Jepang jatuh akibat menguatnya yen terhadap dolar. Mata uang Jepang menguat sekitar 0,4% menjadi 103,43 per US$ pada Selasa (14/1/2014) waktu Tokyo, penurunan penguatan sekitar 14% dalam 12 bulan terakhir.
Data yang di publikasikan hari ini meningkatkan risiko Jepang menghadapi tahun-tahun mendatang dan menjadi bangsa yang membutuhkan bantuan dana dari luar negeri untuk menutupi beban utang yang lebih dari dua kali total produk domestik bruto (GDP).