Bisnis.com, JAKARTA - Transparasi Internasional Indonesia (TII) menghawatirkan adanya potensi korupsi terkait dibentuknya Badan Pengelola (BP) REDD+ seiring kucuran dana proyek tersebut bernilai triliunan rupiah.
Deputi Sekjen TII Dedi Haryadi mengatakan alokasi dana proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) itu sudah mulai mengalir atau diperkirakan per tahunnya mencapai USS765 juta.
“Apabila program REDD+ tidak dikelola oleh pihak yang mumpuni dan kredibel, bisa-bisa dana atau hibah dari asing yang masuk bisa terdistorsi,” katanya ketika dikonfirmasi Bisnis, Jumat (27/12).
Program REDD+ merupakan proyek global guna menyiasati pengurangan gas rumah kaca dengan memanfaatkan hutan sebagai skema pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pemerintah menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada 2020 dengan cara mandiri dan 41% dengan bantuan internasional.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Pada 2010 mendirikan Satgas REDD+ melalui Kepres No.19/2010 dan memilih Kalimantan Selatan sebagai area percontohan. Sementara Kalimantan Tengah ditetapkan sebagai laboratorium uji coba dan provinsi lain akan menerapkan REDD+ sesuai kepentingan masing-masing provinsi.
Pada Agustus 2013, secara resmi Presiden Yudhoyono membentuk BP REDD+ yang memiliki tugas membantu Presiden terkait koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan, serta pengendalian REDD+ di Indonesia.
Dedi menjelaskan beberapa daerah yang berpotensi korupsi dalam pelaksanaan proyek REDD+ antara lain Aceh, Riau dan Papua lantaran dinilai masih lemah baik dari segi pemantauan ataupun penegakan hukum. Ketiga area tersebut juga sejauh ini masih lemah dari pantauan media.
“Kami melihat BP REDD+ memiliki potensi untuk dikooptasi kekuatan politik. Kami meminta berbagai pihak untuk mengawal proyek ini agar semuanya bisa terlihat secara transparans dan jelas pertanggung jawabannya,” ungkap Dedi.
Dalam keterangan resmi yang dipaparkan Dedi, beberapa penyumbang dana REDD+ antara lain UN-REDD dan World Bank's Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) senilai USS9,2 juta, donor bilateral termasuk Australia USS100 juta, proyek global Jerman REDD+ untuk Indonesia dalam International Climate Initiative (ICI) USS92,6 juta dan pemerintah Norwegia USS1 miliar yang baru mengucur USS30 juta.
Adapun, potensi penyelewengan korupsi REDD+ antara lain terdapat pada area Undang-undang, peraturan dan kebijakan serta pengembangan kebijakan dan strategi REDD+. Selain itu, aliran uang dan ekonomi juga dinilai mengandung risiko korupsi melalui alokasi anggaran antara kementerian dan lembaga terkait.
Menurutnya, area lain yang berpotensi risiko korupsi yaitu terkait kegiatan implementasi dalam bentuk pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan proses konsultasi dan lainnya. Penyebab tingginya risiko korupsi tersebut, ungkap Dedi, salah satunya dikarenakan adanya relasi kuasa antara pihak yang terlibat dalam REDD+ seperti pemerintah, pebisnis dan masyarakat sipil.
“Kami berharap adanya perbaikan dari berbagai sektor baik penegakan hukum, pengelolaan internal, kebijakan dan lainnya,” ungkap Dedi.