Bisnis.com, JAKARTA - Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015 diproyeksi meningkatkan potensi benturan ekonomi, terutama di sisi persaingan usaha, karena tidak adanya regulasi khusus yang menaungi seluruh negara di kawasan itu.
Masing-masing negara ASEAN memiliki peraturan anti monopoli dan persaingan usaha sehat sendiri. Tiap beleid dilatarbelakangi oleh kondisi di tiap negara.
R. Ian McEwin, Managing Partner Competition Consulting Asia dan profesor tamu di Universitas Chulalongkorn Bangkok mengatakan, ASEAN membutuhkan badan khusus untuk menangani berbagai perkara persaingan usaha.
"Ini akan menjadi masalah besar setelah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku. Tapi, kemungkinan besar [pembentukan badan khusus] tidak akan terjadi dalam 25-30 tahun ke depan," ujarnya usai menjadi pemateri dalam Dialog Bisnis Nasional “Facing ASEAN Integration : Competition Perspective” di Jakarta, Selasa (17/12/2013).
Alasannya, terang McEwin, adalah karakteristik ASEAN yang tidak mengikat anggotanya seperti Uni Eropa (UE). Dia memperkirakan pihak-pihak yang bersengketa akan memilih arbitrase sebagai jalan keluar.
Meski ada ASEAN Expert Group on Competition (AEGC) sebagai lembaga struktural yang terkait dengan hukum persaingan usaha, tapi tetap berbeda dengan UE yang memiliki komisi khusus untuk menangani masalah ini.
McEwin menyatakan potensi konflik disebabkan perbedaan level ekonomi antar negara ASEAN. Sehingga, satu praktik bisnis yang dilarang di sebuah negara, bisa diizinkan di negara lain.
Dia mencontohkan, peraturan merger atau ketentuan ukuran pangsa pasar yang menunjukkan dominasi. Di Indonesia, merger akan diawasi ketat jika berdampak pada praktik monopoli atau persaingan tidak sehat. Sementara, di Vietnam merger dilarang bila pangsa pasar setelah aksi korporasi itu melebihi 50%.