Bisnis.com, JAKARTA—Permintaan maaf Australia yang diinginkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dari Perdana Menteri Tonny Abbott terkait kasus penyadapan hingga hari ini tak kunjung datang.
Kuat dugaan, alasan Abbot tak mau minta maaf karena Australia merasa 'diatas angin.' Negara Kanguru itu memegang ‘kartu truf’ Indonesia terkait masalah Papua.
Menurut Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS) Guspiabri Sumowigeno, Australia saat ini berusaha menekan Indonesia dengan permasalahan Papua, setelah kedua negara bersitegang soal kasus penyadapan.
"Indonesia tampak menghindari ketegangan diplomatik yang berlarut-larut dengan Australia. Kartu Papua merupakan jurus Australia memaksa Indonesia untuk melakukan hubungan bilateral kedua negara tersebut," kata Guspiabri, Minggu (1/12/2013).
Menurut nya, setelah surat PM Abbott diterima oleh Presiden SBY, Indonesia menyodorkan ajakan pada Australia untuk menyusun protokol dan kode etik bagi hubungan kedua negara yang jika selesai disusun, akan disahkan di hadapan kapala pemerintahan kedua negara.
"Sebenarnya, tidak lazim suatu negara yang dirugikan malah berinisiatif menyodorkan solusi untuk perbaikan hubungan yang rusak," papar Guspi.
Dia menegaskan bahwa langkah itu, ditambah dengan menerima hibah pesawat Hercules dari Australia dan pernyataan BIN bahwa pihaknya telah mendapatkan jaminan tak ada lagi penyadapan oleh Australia, menunjukkan bahwa Indonesia cepat sekali melunak.
"Indonesia ingin segera rujuk dengan tergesa-gesa dan tanpa langkah standar berupa permintaan maaf dari Australia terkait penyadapan," paparnya
Melunaknya Jakarta, lanjut Guspi, tampaknya merupakan antisipasi pada kemungkinan munculnya tekanan balik Australia melalui persoalan Papua. Dua langkah tersebut diharapkan segera memulihkan kerja sama politik kedua negara yang antara lain menjamin Papua sebagai bagian NKRI.
Dia menambahkan bahwa sentimen publik sebenarnya menginginkan Indonesia bisa lebih tegas menghukum Australia, tetapi hal itu sulit dipenuhi oleh Pemerintah. Hal ini karena Indonesia cukup tergantung pada kerja sama politik dengan Australia dalam menjamin status politik wilayah Papua.
"Ini sebenarnya tidak lazim karena kedua negara sama-sama berbobot middle power, meski Australia adalah upper class middle power, sementara RI lower class middle power. Sikap RI menunjukkan kita tidak bisa menjalankan prinsip bebas aktif. Kita tidak bebas bersikap dan berekspresi," ujarnya.
PROFIL MILITER
Menurutnya, Indonesia hanya bisa lepas dari ketergantungan itu dan bisa lebih independen dalam bersikap dan bebas menunjukkan ekspresi emosional terhadap Australia bila Indonesia memperbaiki profil militernya dengan menggandeng Rusia untuk segera mentransformasi TNI menjadi kekuatan militer middle power yang mengarah pasti menjadi great power seperti India.
Alternatif lainnya, kata Guspi, mengadakan deal politik-militer langsung dengan Amerika Serikat (AS) untuk menekan Australia dengan imbalan tertentu, atau menggandeng China menginternasionalisasi isu-isu dalam negeri Australia, utamanya nasib kaum aborigin.
Alternatif yang lebih ekstrem lanjutnya, adalah memberi tempat untuk berbagai kekuatan dunia secara bersamaan membuka pangkalan militer di wilayah Tanah Air. China diizinkan membangun pangkalan militer di Papua, Amerika Serikat di Natuna, Rusia di Pulau Nias, Perancis di Lombok dan India di Kalimantan.
"Kalau berbagai pihak asing membuka pangkalan secara bersamaan, tentu tidak bisa dikatakan melanggar prinsip bebas aktif," tegasnya. (IF/Antara)