Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Australia Sepatutnya Meminta Maaf kepada Presiden SBY

Pemerintah Australia sepatutnya menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas tindakan penyadapan, karena telah melakukan sebuah tindakan ilegal dengan tidak menjunjung tinggi etika dan nilai luhur persahabatan kedua negara.

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Australia sepatutnya menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas tindakan penyadapan, karena telah melakukan sebuah tindakan ilegal dengan tidak menjunjung tinggi etika dan nilai luhur persahabatan kedua negara.

Sebaliknya, Indonesia seharusnya lebih tegas lagi dalam menghadapi sikap Australia tersebut, yakni meninjau ulang seluruh perjanjian bilateral kedua negara serta membatalkan seluruh perjanjian RI-Australia tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-batas Dasar Laut Tertentu serta Batas Landas Kontinen di Laut Timor dan Arafura.

Karena telah terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan di kawasan Laut Timor dengan lahirnya sebuah negara baru bernama Timor Leste, sehingga Laut Timor bukan lagi hanya milik dua negara yakni Indonesia dan Australia saja, tetapi telah menjadi milik tiga negara yakni dengan Timor Leste.


"Apa pun alasannya, penyadapan tersebut adalah sebuah tindakan ilegal yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun," kata Ferdi Tanoni, Peraih Civil Justice Award Nasional dari Aliansi Pengacara Australia (ALA), dalam keterangan pers, Selasa (19/11).

Dia mengungkapkan itu menanggapi tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu menegaskan pemerintahan PM Tonny Abbott tidak bisa memandang sepele masalah penyadapan tersebut, karena telah melanggar etika persahabatan yang sudah lama dibangun oleh kedua negara bertetangga ini.

"Jika Pemerintah Australia menganggap sepele masalah penyadapan, maka Pemerintah Indonesia juga harus menganggap sepele masalah manusia perahu yang berlayar menuju Australia untuk mencari suaka di Negeri Kanguru tersebut," ujarnya.

Pemerhati masalah Laut Timor itu menambahkan tindakan Pemerintah Indonesia menarik Dubesnya dari Canberra, merupakan sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja dalam hubungan diplomasi antarnegara.

"Tetapi, Australia juga ingat bahwa sejak zaman Orde Baru, kami rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu dijadikan sebagai limbah politik hanya untuk menjaga hubungan bilateral dengan Australia, terutama dalam kasus Timor Timur, yang kini telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka," katanya.

Penulis buku Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta itu mengatakan perjanjian-perjanjian tersebut sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat Nusa Tenggara Timur.

“Sudah pada tempatnya lah Jakarta (pemerintah pusat) memberikan dukungan penuh kepada rakyat dan pemerintah NTT melalui Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) untuk menuntaskan kasus pencemaran Laut Timor yang diabaikan Australia," kata Tanoni.

Namun, sambungnya, kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya kilang minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009, diabaikan begitu saja oleh Australia, sehingga memicu gejolak sosial baru di kalangan petani rumput laut dan nelayan yang telah menjadikan Laut Timor sebagai ladang kehidupannya.

YPTB merupakan satu satunya lembaga resmi dari Indonesia yang mengajukan pengaduan kepada Komisi Penyelidik Montara bentukan Pemerintah Federal Australia, dan dinyatakan resmi dan memenuhi syarat untuk melakukan gugatan.

Dia menambahkan sudah saatnya bagi Jakarta untuk memberi dukungan penuh kepada lembaga non pemerintah tersebut untuk menyelesaikan kasus pencemaran ini dengan pihak Australia dan perusahaan pencemar PTTEP Australasia asal Thailand.

"Dukungan politik (political will) dari Jakarta sangat dibutuhkan untuk memperlancar urusan tersebut, guna mempercepat proses pemulihan lingkungan laut yang tercemar serta ganti rugi bagi korban pencemaran, terutama para petani rumput laut dan nelayan di NTT yang terkena dampak langsung dari musibah terburuk sepanjang sejarah Australia itu."


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper