Bisnis.com, JAKARTA - Pertemuan para pemimpin kelompok negara G-20 di Rusia pekan ini menitikberatkan pada pembahasan strategi pertumbuhan ekonomi jangka panjang, meski isu krisis Suriah tidak luput dari perhatian di sela-sela rapat besar tersebut.
Sebagaimana dikutip dalam draf pertemuan G-20 yang dirilis hari ini, Kamis (5/9/2013), para pemimpin 20 kekuatan ekonomi terbesar dunia itu menekankan agenda pada langkah-langkah kebijakan seperti belanja infrastruktur dan pelatihan kerja.
“Proyeksi pertumbuhan 2013 telah berulang kali dipangkas dalam setahun terakhir. Disparitas regional juga kian melebar dan tingginya angka pengangguran—terutama di kalangan pemuda—tidak dapat diterima,” papar draf pertemuan 2 hari yang dimulai hari ini, Kamis (5/9/2013) tersebut.
Anggota G-20 juga sepakat proses pemulihan global hingga kini masih terlalu lemah, sehingga risiko ke bawah masih sangat besar.
Draf itu juga merefleksikan adanya pergeseran strategi dari pertemuan sebelumnya. Tadinya, G-20 lebih menekankan pada kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi guna mendongkrak ekonomi global.
“Menyadari perlunya dorongan mendesak untuk menerapkan transformasi struktural, kami mengubah agenda reformasi menjadi lebih relevan, konkrit, dan tepat sasaran,” jelas mereka.
Perubahan agenda itu otomatis menunda komitmen untuk menggeser orientasi sistem nilai tukar yang berbasis pasar, serta menjadikan nilai tukar lebih fleksibel agar mencerminkan fundamental ekonomi suatu negara guna menghindari kesalahan pengaturan mata uang.
“Kami akan menunda [rencana] devaluasi kompetitif dan tidak akan menargetkan nilai tukar untuk tujuan kompetisi,” jelasnya.
Pada saat bersamaan, anggota G-20 mengklaim kesuksesan dalam membendung risiko lanjutan terhadap proses pemulihan dan keberhasilan memperbaiki kondisi keuangan. Mereka mengatakan rebound permintaan swasta di Amerika Serikat, penguatan ekonomi Jepang dan Inggris, dan keluarnya zona euro dari resesi sebagai bukti-bukti konkret.