TOKYO—Meskipun Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berjanji Abenomics akan mengembalikan kejayaan industri Negeri Sakura itu, beberapa pelaku industri di Jepang justru mengeluhkan krisis yang terjadi saat ini membawa dampak yang lebih buruk ketimbang di masa setelah gempa Tsunami pada 2011.
Takumi Tanaka, Direktur Pelaksana produsen suku cadang otomotif Uchida Co, mengaku perusahaannya harus menghadapi masalah tingginya biaya setelah yen anjlok hingga 17% dalam 9 bulan terakhir. Merosotnya nilai tukar yen memantik kenaikan harga energi dan logam impor.
Pada saat bersamaan, Tanaka juga mengeluhkan dirinya berada di bawah tekanan klien untuk mendirikan pabrik di dekat cabang-cabang luar negeri Uchida. Dia menyatakan Abenomics membawa keuntungan yang sangat sedikit bagi industri.
“Bahkan saat ini, kami diminta untuk membangun pabrik di Vietnam, Thailand, dan Indonesia. Hanya sedikit kemungkinan manufaktur akan bertahan di Jepang,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg.
Merosotnya yen memberi dampak positif bagi para eksportir Jepang karena bank sentral memasok lebih banyak uang ke dalam sirkulasi untuk mengatasi deflasi. Namun, keuntungan nilai tukar yen tidak cukup untuk membalikkan dampak dari macetnya pertumbuhan Jepang selama beberapa dekade, sehingga perusahaan-perusahaan terpaksa melakukan ekspansi ke luar negeri.
“Nilai tukar bukanlah faktor utama mengapa suatu perusahaan melakukan investasi untuk membangun pabrik baru,” jelas Masamichi Adachi, ekonom senior JPMorgan Chase & Co di Tokyo.
Menurutnya, para pelaku industri berupaya menekan volatilitas nilai tukar dalam laba mereka, sehingga akan lebih baik bagi mereka untuk membuat produk di dekat pasar lokal di luar negeri.