BISNIS.COM, MAUMERE-- Panitia Penanggulangan Bencana Rokatenda (PPBR) Keuskupan Maumere menilai rencana relokasi warga Pulau Palue, di Kabupaten Sikka, NTT yang menjadi korban bencana meletusnya gunung Rokatenda tidak realistis dan terburu-buru karena dilakukan tanpa dasar studi kelayakan yang memadai.
Menurut rencana sekitar 375 kepala keluarga (KK) warga Palue yang tertimpa bencana tersebut akan direlokasi ke tiga lokasi, yakni Hewuli, Patisomba, Wuring dengan luas lahan 9 hektare.
“Kami minta agar Pemkab Sikka meninjau kembali rencana tersebut karena konsep relokasi dengan ketersediaan lahan 9 hektare itu sangat tidak layak huni untuk jumlah 375 KK," ujar Sekretaris PPBR Keuskupan Maumere Pastor Yoris Role, Pr dalam siaran pers yang diterima Bisnis, Jakarta, Kamis (23/05/2013).
Menurutnya, sebagian besar warga adalah petani, sementara yang disediakan tidak terlalu menjanjikan dari segi kesuburan tanah, curah hujan, persediaan air bersih, dan lahan usaha.
Pastor Yoris mengungkapkan, pihaknya menganjurkan agar kebijakan relokasi itu diganti dengan rencana permukiman kembali (resettlement).
Ia menilai langkah relokasi itu hendaknya dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek daya dukung lahan, kepentingan masyarakat sekitar lokasi tujuan sehingga tidak menimbulkan konflik, lahan usaha dan mata pencaharian warga, dan fasilitas umum, seperti kesehatan, pendidikan, sarana ibadat, dan infrastruktur lainnya.
Pastor Yoris menambahkan, pihaknya menganjurkan Pulau Besar sebagai lokasi permukiman baru. Pulau tersebut memiliki sumber air yang cukup memadai, sangat kondusif untuk bertani dan melaut.
Selain itu, Pulau Besar berpotensi sebagai daerah pengembangan sektor pariwisata ke depan yang bakal menjanjikan penghidupan yang layak di masa depan.
"Kami sudah berdialog dengan penduduk setempat yang menyatakan kesediaan menerima warga pindahan dari Pulau Palue," ungkapnya.
Semenjak meletusnya Gunung Rokatenda, sekitar 2.000 warga Pulau Palue di zona merah mengungsi ke Pulau Flores. Gunung Rokatenda sudah meletus beberapa kali dan menyebabkan daerah di zona merah sangat riskan untuk dihuni.
Berhubung belum adanya kepastian soal kebijakan pemerintah terkait warga terdampak, sebagian warga terpaksa kembali ke rumah mereka, sedangkan lainnya bertahan di tempat pengungsian.