JAKARTA-Konflik sumber daya alam menjadi salah satu dari tiga masalah paling signifikan terkait dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air. Dua masalah lainnya adalah sikap kesewenang-wenangan terhadap kelompok agama minoritas dan kekerasan berkepanjangan di Papua.
The Asian Human Rights Commission (AHRC) mengatakan pada umumnya konflik sumber daya alam (SDA) berakar karena kegagalan pemerintah dan perusahaan untuk berkonsultasi kepada masyarakat dalam rangka meminta persetujuan.
Salah satunya, demikian organisasi tersebut, adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Dalam kasus tersebut, sedikitnya lima petani terluka dan lima orang lainnya ditahan karena berdemonstrasi akibat operasi perusahaan kelapa sawit PT MAI.
“Alih-alih menyiapkan mekanisme untuk menjamin hak masyarakat yang terkena dampak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, Pemerintah Indonesia justru menggunakan aparatur negara untuk perlindungan kepentingan perusahaan dan bisnis,” demikian kesimpulan eksekutif AHRC dalam laporan The State of Human Rights in Indonesia 2012, hari ini (14/12).
Organisasi pemantau HAM yang berbasis di Hongkong tersebut menyatakan Pelapor Khusus PBB tentang Hak atas Pangan, Olivier De Schutter, telah membentuk satu inti prinsip-prinsip dalam akuisisi tanah berskala besar maupun dalam penyewaannya.
Salah satunya adalah menerapkan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yakni masyarakat yang bebas menyetujui maupun menolak proyek yang akan berlangsung di wilayah mereka setelah mengetahui benar informasi mengenai program tersebut.
AHRC mengungkapkan Pemerintah Indonesia justru belum membuat prosedur di bawah undang-undang terkait dengan prinsip-prinsip tersebut. Salah satu contohnya, kata AHRC, adalah UU No.18/2004 tentang Perkebunan yang tak membebankan obligasi tersebut kepada pemerintah dan perusahaan untuk berkonsultasi dengan masyarakat yang terpapar proyek berskala besar.
“Oleh karena itu, AHRC mendesak agar Pemerintah Indonesia memastikan prinsip FPIC dapat dihormati oleh pemerintah daerah dan perusahaan yang aktivitasnya berdampak pada masyarakat lokal”. (yus)