POKOK kedua dalam centang perenang perseteruan antara Dahlan Iskan dan DPR yang tampaknya juga luput dari liputan media adalah keberhasilan Dahlan meraihpolitical gain dari situasi tersebut.
Pasalnya, alih-alih melayani bola inefisiensi PLN yang dilemparkan Komisi VII DPR ke dirinya, Dahlan justru menembakkan tuduhan pemerasan oknum anggota DPR ke sejumlah direksi BUMN.
Tembakan Dahlan itu jelas punya dua sisi mata. Ke DPR, dia mengirim sinyal bahwa 'masing-masing kita punya kelemahan. Bukan cuma Anda saja yang bisa menyerang. Saya juga bisa."
Di sisi lain, ke warga, Dahlan sekaligus tengah mengorkestrasikan mood publik, yang mendongkrak profil politiknya, sekaligus mencegahnya tenggelam dalam wacana inefisinesi PLN.
Boleh-boleh saja Dahlan mengatakan tidak ada hubungan antara wacana inefisiensi PLN yang disulut DPR dan isu pemerasan direksi BUMN oleh oknum DPR yang dilemparkannya ke media.
Tapi silakan Dahlan berbicara pada dirinya sendiri. Dua hal itu jelas berkaitan. Tidak sulit menalar, dia tak ingin wacana inefisiensi PLN terus menggelinding, membesar & menggerus profil politiknya.
Sebaliknya, dengan melempar isu pemerasan direksi BUMN oleh oknum DPR ke media, bukannya ke polisi atau KPK, Dahlan telah memanfaatkan isu tersebut untuk menaikkan profil politiknya.
Di mata media, peluru atau kartu truf yang dikeluarkan Dahlan itu jelas jauh lebih seksi ketimbang wacana pemborosan PLN. Mood publik jelas lebih mudah diayun dengan isu pemerasan tersebut.
Dengan isu yang otomatis lebih mudah digelindingkan itu, di media, dari hari ke hari Dahlan akan muncul sebagai tokoh protagonis. Bukan antagonis seperti halnya dalam wacana inefisiensi PLN.
Apakah Dahlan, yang orang media, tak menyadari rangkaian konsekuensi ini ketika mengatakan dua hal tersebut tidak ada hubungannya? Maaf, Pak Dis, silakan Anda berbicara kepada diri Anda sendiri.
Alasan negatif
Tentu saja saya masih ngefans Dahlan Iskan. Kira-kira sama-lah ngefansnya dengan Jokowi, KPK, atau Iwan Fals. Mereka bukan orang yang suka aneh-aneh. Dan rasanya, saya tidak sendiri.
Namun, karena bukan ngefans secara ideologis, saya tahu persis alasan utama ngefans saya bukan karena saya tahu benar kualitas mereka, kualitas yang bisa menginspirasi tanpa banyak cingcong.
Dengan kata lain, saya ngefans lebih karena dorongan emosional: Sudah terlalu lama saya tidak menemukan pemimpin yang mau pakai sepatu kets, mau duduk di tanah tanpa alas.
Sudah puluhan tahun tak kunjung ada pemimpin yang mau langsung bekerja, mau menyapa hangat pedagang sayur & tukang pungut sampah, yang tidak sombong dan mau dianggap bodoh.
Saya betul-betul rindu dengan pemimpin yang apa adanya. Bukan pemimpin yang suka foto-foto, yang super sensitif kalau disinggung masalah pribadinya, tapi tidak untuk masalah bangsa.
Alasan kita ngefans KPK, Jokowi, dan Dahlan, mungkin sama. Alasan negatif: Muak atas meruyaknya korupsi dan dominasi pemimpin yang terus mematut-matut diri meski tak becus mengurus negeri.
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan alasan negatif itu, termasuk jika dengan alasan tersebut jenis ngefansnya kemudian menjadi ngefans ideologis, bukan kritis.
Ingat, tidak ada undang-undang yang melarang orang menyimpulkan dan menjatuhkan pemihakan berdasarkan hal-hal yang ada di permukaan, atau bahkan berupa sekadar impresi pencitraan.
Hanya, memang, kesimpulan seperti itu biasanya tak bertahan lama. Jadi, tinggal soal waktu hingga para fans KPK, Dahlan atau Jokowi, bisa tetap lapang dan tertawa nyinyir sesekali.([email protected])