Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

 

MALANG: Gubernur Jatim Soekarwo mestinya sudah mempunyai desain atau konsep terkait dengan ketersediaan beras dalam negeri saat melarang Bulog menyalurkan beras impor untuk keluarga miskin (raskin).
 
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof Ahmad Erani Yustika mengomentari terkait dengan polemik larangan Gubernur pada Bulog  menggunakan beras impor untuk penyaluran raskin.
 
"Jika tidak ada stok beras dalam negeri, maka kebijakan tersebut menjadi tidak efektif, tidak jalan," kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya itu saat dihubungi Bisnis hari ini.
 
Dalam penyaluran raskin menggunakan beras impor, menurut dia, sah-sah saja jika penyaluran tidak mempengaruhi harga beras domestik. Bagi keluarga miskin (gakin) tidak mempersalahkan beras itu dari impor atau pengadaan dalam negeri.
 
Terkait dengan larangan Gubernur pada Bulog untuk menyalurkan raskin dengan menggunakan beras impor, dia tidak tahu mengapa keputusan seperti itu muncul. Namun dia menduga, kemungkinan terkait dengan upaya mengangkat citra, menyangkut persepsi.
 
Gubernur tidak ingin ada kesan bahwa Provinsi Jatim sebagai produsen padi yang penting justru kemasukan beras impor yang berdampak pada turunya harga beras dan merugikan petani.
 
Namun yang menjadi masalah, apa data di pemerintah, termasuk di Kementerian Pertanian itu sudah valid. Ada dugaan data tersebut tidak akurat. Karena itulah, Indef meminta agar Kementerian Pertanian memperbaiki data produksi padi agar kebijakan terkait dengan masalah bisa lebih tepat.
 
Namun jika asumsi bahwa produksi padi memang surplus, menurut dia, maka sudah selayaknya Bulog menyerap beras dalam negeri meski harganya di atas harga pembelian pemerintah (HPP).
 
Pemerintah sudah menetapkan kebijakan bahwa Bulog bisa membeli beras dengan harga pasar. Bulog tidak perlu takut dianggap melanggar ketentuan asal prosesnya betul-betul transparan, betul-betul akuntabel.
 
Ahmad menilai tingginya harga beras tidak berbanding lurus dengan stok yang ada. Masalah harga dan stok dua hal yang berbeda. Bisa saja stok beras tinggi, namun harganya tetap tinggi karena para pemain beras tidak mau melepas beras yang mereka miliki.
 
"Hampir semua komoditas penting di Tanah Air ini dikuasai oleh pemain-pemain yang terpenting. Praktik oligopoli mewarnai distribusi bahan-bahan kebutuhan penting masyarakat." (sut)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Editor : Sutarno
Sumber : Choiurl Anam

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper