Dalam 6 bulan, persepsi investor finansial global tentang Indonesia berubah tajam. Pada awal 2011 investor sangat khawatir atas inflasi yang tinggi dan Bank Indonesia yang dianggap lambat menaikkan suku bunga, sehingga BI dianggap behind the curve dibandingkan dengan bank sentral lainnya di Asia.
Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat dianggap pulih pesat dari resesi 2009, sehingga modal investor global kembali ke AS dari negara berkembang atau emerging markets. Dampaknya: pada Januari 2011 kurs rupiah per dolar AS anjlok dari 8.980 ke 9.100 dan indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 11,5%.
Saya masih ingat di tengah malam melakukan conference call dengan para investor di New York yang panik atas keadaan ekonomi Indonesia.
Fast-forward ke Juli 2011, suasananya jauh berbeda. Investor global `jatuh cinta' dengan Indonesia dan memompa miliaran dolar ke pasar finansialnya. Akibatnya, sejak awal 2011 rupiah menguat 5% ke 8.530 per dolar AS, apresiasi ketiga terpesat di Asia setelah won Korea Selatan dan dolar Singapura.
IHSG sempat melesat ke rekor tertinggi pada 4.100, naik 16,3% dalam dolar AS, yang membuat kinerja IHSG kedua terbaik di Asia setelah Mongolia, sementara imbal hasil SUN turun tajam dengan naiknya porsi kepemilikan asing di pasar SUN ke 35%, tertinggi dalam sejarah.
Sekarang setiap kali saya bicara dengan investor, di luar atau di dalam negeri, mereka mengharapkan koreksi pasar, agar bisa berinvestasi lebih banyak lagi di pasar finansial Indonesia. Pertanyaannya: sampai kapan penguatan ini akan berlanjut? Akankah pasar modal Indonesia mengalami bubble? Sementara ini, investor tidak peduli selama mereka terus mencetak laba.
Proses pergeseran kembali dana investor global ke Indonesia diawali dengan tidak terbuktinya optimisme investor atas ekonomi AS. Ekonomi AS terbebani dengan utang, terutama mayarakat dan pemerintahnya, sehingga tidak mudah tumbuh.
Standard Chartered Bank bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS turun dari 2,8% pada 2010 ke 2,5% pada 2011. Karena rentannya ekonomi AS, Federal Reserve atau Feds--bank sentral AS--mempertahankan suku bunga Fed Funds Target Rate pada 0,25% dan diperkirakan tetap di level ini paling cepat sampai semester II/2012.
Selain itu, Feds memompa lebih dari US$600 miliar likuiditas segar ke ekonomi AS melalui program quantitative easing, jilid 2. Masalahnya, rendahnya suku bunga dolar dan quantitative easing menciptakan, dana dolar ekses yang tidak bisa diserap oleh sektor riil AS dana murah belum tentu memberi stimulus ke sektor riil, apa lagi kalau hutang masyarakat sudah terlalu besar. Akibatnya, dana ini menganggur.
Selain itu, pada 2 Agustus 2011 utang pemerintah AS diperkirakan tembus plafon utang (debt ceiling) sebesar US$14,3 triliun, yang telah disetujui oleh Senat dan DPR AS.
Pemerintah AS dan Senat yang dikuasai oleh Partai Demokrat menginginkan kenaikan plafon. Namun DPR yang dikuasai oleh Partai Republik yang tidak mau menaikan debt ceiling tanpa pemangkasan anggaran yang tajam.
Karena belum ada titik temu, terjadilah political deadlock. Jika tidak ada solusi dan debt ceiling tidak dinaikkan, maka pada 3 Agustus pemerintah AS akan menunggak, termasuk atas surat utangnya (US treasury bonds) yang diperdagangkan di pasar global.
Bisa dimengerti keadaan ini membuat investor global panik. Lembaga peringkat risiko, seperti Standard and Poor's dan Moody's, mengeluarkan ancaman akan memangkas peringkat risiko AS jika tidak ada solusi.
Bagi investor global yang memiliki dolar AS, termasuk bank sentral di seluruh dunia yang memiliki US treasury bonds, sudah suku bunganya rendah, ekonomi AS rentan risiko pemerintah AS menunggak pula. Cukup sudah alasan untuk menghindari dolar AS.
Sementara masalah ekonomi yang lebih parah dihadapi oleh Uni Eropa, terutama negara yang kerap disebut PIGS (Portugal, Irlandia, Yunani, dan Spanyol).
Masalah terpelik dihadapi Yunani,yang pemerintahnya memiliki utang lebih dari 330 miliar euro atau 150% dari produk domestik bruto sebagai bandingan, persyaratan untuk masuk Uni Eropa adalah 60%.
Secara teknis Yunani (dan kemungkinan Irlandia) sudah bangkrut dan untuk memangkas rasio ini ke 60%, utang pemerintah Yunani harus `didiskon' 70% sehingga pemerintah hanya bayar 100 miliar euro.
Tentu ini akan memukul para investor yang memegang SUN Yunani, termasuk perbankan Eropa yang belum sepenuhnya pulih dari krisis global 2009.
Namun, restrukturisasi utang (bahasa kerennya nunggak) cepat atau lambat tidak bisa dihindari. Sementara lembaga peringkat risiko memangkas peringkat Yunani, Irlandia dan Portugal di bawah investment grade.
Mengingat rentannya ekonomi Eropa, Bank Sentral Eropa tidak akan berani menaikkan suku bunganya, yang diperkirakan naik hanya dari 1% pada awal 2011 ke 2,25% pada semester II/2012.
Rentannya ekonomi AS, Eropa, dan Jepang, serta rendahnya suku bunga di ketiga ekonomi tersebut menciptakan dana nganggur yang tidak bisa diserap oleh sektor riil.
Dana yang dikelola oleh hedge funds, reksa dana, dana pensiun dan perusahaan asuransi internasional ini mencari tujuan baru, yang biasanya adalah negara EM yang memiliki dua persyaratan.
Pertama, suku bunganya jauh lebih tinggi dari pada suku bunga dolar AS, euro atau yen Jepang, sehingga spekulan global bisa meminjam dolar, misalnya, untuk membeli obligasi di negara itu.
Kedua, pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan AS, Eropa, atau Jepang sehingga pertumbuhan laba korporasinya dan indeks bursa sahamnya lebih pesat. Hanya ada dua negara yang memenuhi kedua persyaratan ini: Brasil dan Indonesia.
Derasnya hot money
Dalam kondisi AS dan Eropa sedang menghadapi krisis fiskal dan ekonomi negara maju hanya tumbuh rata-rata 2,5% per tahun, tidak sulit bagi investor untuk tertarik pada Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan naik dari 6,1% pada 2010 menjadi 6,5% pada 2011. Selama 5 tahun terakhir, laba korporasi rata-rata tumbuh 20% setahun, yang telah mendukung kenaikan IHSG secara spektakular dari level 1.163 pada awal 2006. IHSG rata-rata naik 26% setahun walaupun mengalami krisis finansial global pada 2008.
Sementara keadaan keuangan pemerintah sehat: defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) selalu rendah (di bawah batas 3% dari PDB) dan rasio antara utang pemerintah ke PDB turun dari 90% pada 2000 ke 26% pada 2011.
Keadaan ini meyakinkan tiga lembaga peringkat risiko internasional untuk memberi peringkat Indonesia satu level di bawah investment grade. Karena dua dari lembaga ini (S&P dan Fitch) memberi positive outlook, maka sangat mungkin dalam tempo 6-12 bulan, mereka akan memeringkat Indonesia investment grade, seperti sebelum krisis moneter 1997.
Jika Indonesia menjadi investment grade, aliran modal asing ke Indonesia dipastikan semakin deras, karena banyak investor yang hanya bisa berinvestasi di negara berperingkat investment grade.
Akibatnya, harga SUN dan IHSG dipastikan akan terus menguat, yang tentunya membuat investor semakin optimistis atas Indonesia. Namun keadaan ini ada risikonya. Aliran modal asing yang deras jika tidak diserap oleh investasi di sektor riil (melalui pembangunan infrastruktur dan ekspansi bisnis) hanya akan menciptakan inflasi aset finansial.
Sementara investasi di sektor riil, terutama sektor manufaktur, hanya bisa diakselerasi jika pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, jalan raya, pembangkit tenaga listrik, modernisasi pelabuhan dan bandara diakselerasi pula, dengan demikian, biaya transportasi dan energi sektor swasta bisa ditekan dan membantu sektor manufaktur lebih kompetitif di pasar ekspor.
Ironisnya, lambannya pembangunan proyek infrastruktur oleh pemerintah adalah alasan utama mengapa defisit APBN rendah dan rasio utang pemerintah ke PDB turun terus, indikator yang sekilas membuat Indonesia menarik, terutama bagi investor SUN, tanpa mempelajari lebih dalam sebabnya.
Sementara ini, saya masih memperkirakan aliran modal asing terus memperkuat rupiah ke 8.300 per dolar AS dan IHSG ke 4.400 pada akhir 2011.
Memang harga SUN sudah sangat tinggi dan imbal hasilnya rendah, sehingga hanya menarik bagi investor asing, yang membandingkannya dengan suku bunga yang sangat rendah di negara maju.
Sementara rasio price-earning saham Indonesia di level 16,1 merupakan kedua tertinggi di Asia setelah Jepang.
Tentu jika sektor riil bisa tumbuh pesat, pertumbuhan ekonomi naik ke potensinya di 7%-8% per tahun, tingginya harga aset finansial Indonesia bisa dijustifikasi. Namun, jika pembangunan infrastruktur tetap lamban dan pertumbuhan ekonomi tidak bisa mengejar kenaikan pasar finansial, selisih antara persepsi dan realita akan semakin besar. Keadaan ini berisiko menciptakan bubble dalam 1 2 tahun ke depan. * Managing Director Standard Chartered Bank