Satu dasawarsa, lanjutnya, pemberlakukan otonomi daerah yang ditandai dengan penyerahan 70% urusan ke pemerintah daerah, tidak diiringi dengan desentralisasi fiskal.
Menurut dia, keleluasaan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran semakin terbatas. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah pusat yang menaikkan belanja pegawai sebesar 15% dan rekrutmen pegawai negeri sipil yang tidak bisa dihindari dan harus dibiayai oleh APBD, sehingga diskresi fiskal dan ruang fiskal daerah semakin menurun.
Akibatnya kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada publik semakin melambat. Implementasi program-program akselerasi seperti pembangunan pendidikan, kesehatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan hanya bersifat residual atau hanya kebagian sisa-sisanya saja, tegasnya.
Selain itu menurutnya dengan keterbatasan yang melanda keuangan daerah, masih saja terjadi praktek pembajakan anggaran yang dilakukan para elit di daerah.
Itu terjadi pada pos anggaran yang rendah tingkat akuntabilitasnya dan memiliki kerawanan terhadap penyimpangan seperti pertama, bancakan bantuan sosial (bansos), pada laporan realisasi APBD tahun 2009 ditemukan penyimpangan penggunaan bantuan sosial di 19 provinsi sebesar Rp765,3 miliar. (tw)