Bisnis.com, JAKARTA – Umat Islam kembali menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh pada siang hari, dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Disebutkan, puasa dimaksudkan untuk menjadikan pelakunya sebagai orang bertakwa (QS al-Baqarah : 183); saleh individual dan saleh sosial sekaligus.
Secara bahasa, “puasa” artinya menahan diri. Dalam istilah agama, puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dalam rentang waktu tertentu sebagai perwujudan dari kebaktian dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah.
Secara lahiriah, puasa berarti menahan dan menekan diri dari hasrat dasar atau biologis manusia: makan dan minum. Secara batiniah, puasa berarti menahan diri dari hasrat-hasrat atau keinginan-keinginan buruk demi mengharap keridaan Allah.
Inilah yang disebut Imam al-Ghazali dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin, sebagai puasa level paling tinggi (khusush al-khushush). Adapun puasa lahiriah disebutnya sebagai puasa level pertama. Sekadar menahan diri dari makan dan minum atau kebutuhan biologis.
Orang berpuasa sesungguhnya didorong lebih daripada itu. Tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dan menekan budaya konsumerisme. Dengan itu, ia didorong untuk lebih banyak beramal, tidak hanya amal individual tetapi juga sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme diartikan sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat.
Artinya, membeli bukan untuk kebutuhan melainkan untuk gaya hidup (life style), kemewahan, kebanggaan, atau menunjukkan status sosial.
Di media televisi, sepanjang bulan Ramadan, penuh dengan jejalan iklan-iklan produk konsumtif. Masyarakat secara massif terus-menerus digempur oleh iklan-iklan yang membius, sehingga terbuai dan kehilangan kesadaran akan hakikat dari kebutuhan.
Mengutip pandangan Abraham Maslow, manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat-tingkat. Yang paling mendasar adalah kebutuhan fisik.
Selanjutnya, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan pengakuan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia akan mengusahakannya dengan kegiatan konsumsi.
Dalam masyarakat modern, ungkap Jean Baudrillard (1970), konsumen telah membawa manipulasi aktif dari tanda (active manipulation of the sign), sehingga tanda dan komoditas yang datang bersama-sama dalam produksi tanda komoditas (sign-commodity).
Konsep dan kemasan iklan dalam kenyataannya sangat akrab dengan manipulasi aktif dari tanda tersebut sehingga pengaruh iklan sebagai kekuatan manipulatif dan hegemonik dalam kehidupan secara dramatis semakin merajalela. Iklan, dengan demikian, telah menciptakan kesadaran palsu dan memusnahkan kesadaran sejati.
KEBUTUHAN PALSU
Dalam bahasa Vance Packard, iklan menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs) yang bertemu dalam suatu cara yang tidak memuaskan secara fundamental dengan konsumsi yang mencolok mata yang dipercaya bahwa kesejahteraan dan kedamaian pikiran itu didapatkan dari belanja pelbagai komoditas. Inilah iklan yang bisa membuai dan menciptakan hyper-reality.
Dengan adanya iklan-iklan tadi, terjadi paradoks yang kentara. Pada satu sisi, melalui puasa orang diimbau untuk “menahan” dan “menekan”, pada kenyataannya iklan-iklan produk justru makin digelontorkan.
Mal-mal dan pusat-pusat belanja penuh padat pengunjung. Apalagi menjelang sore hari saat akan berbuka puasa. Sebagian mal atau tempat belanja menyuguhkan hidangan ringan untuk berbuka puasa kepada pengunjung. Ini semakin meningkatkan gairah masyarakat untuk datang dan memilih berbuka di tempat-tempat itu daripada di tempat-tempat ibadah atau di rumah sendiri bersama keluarga.
Bahkan, saat ini, berbuka di mal-mal atau tempat-tempat belanja menjadi semacam gaya hidup. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, sembari menunggu berbuka puasa, jalan-jalan sambil melihat-lihat barang; tentu bukan sekadar melihat, melainkan pada akhirnya membeli, mengonsumsi.
Bagi masyarakat perkotaan, terutama kelas menengah ke atas, berbuka di tempat-tempat itu kelihatannya lebih menarik dan lebih prestisius dibandingkan dengan berbuka di tempat-tempat ibadah atau di panti-panti sosial seperti rumah-rumah anak yatim dan sejenisnya.
Budaya konsumerisme meningkat di awal-awal dan hari-hari terakhir bulan Ramadan. Toko-toko baju dan makanan ramai didatangi pengunjung. Sementara puasa mendorong untuk lebih giat beribadah, baik itu ibadah ritual maupun sosial, terutama di hari-hari terakhir bulan Ramadan.
Puasa mendorong orang untuk berlama-lama di tempat ibadah dan makin intensif melakukan kegiatan-kegiatan sosial, membantu orang-orang yang kesulitan secara ekonomi. Puasa juga menganjurkan untuk banyak-banyak mendekat dengan orang-orang yang susah agar rasa empatinya muncul lalu tergerak membantu.
Konsumerisme yang justru meningkat pesat di bulan Ramadan menggambarkan betapa puasa tampaknya acap kali kehilangan maknanya. Ramadan telah dikapitalisasi sedemikian rupa untuk menjauhkan—setidaknya melenakan—masyarakat dari pesan-pesan substansial yang diajarkan agama melalui puasa: kesederhanaan, empati, kepekaan sosial, keluhuran budi, kemanusiaan dan spiritualitas.
Masyarakat digiring untuk menjauhi atau tidak memedulikan itu semua kemudian tenggelam dalam ingar-bingar suasana Ramadan yang telah dikapitalisasi dan disulap demi menarik lebih kuat lagi budaya konsumerisme. Nabi pernah mengingatkan, “Betapa banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapat lapar dan haus semata”.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selas 5 Juni 2018