Kabar24.com, JAKARTA - Kalangan DPR membantah tudingan berupaya untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni menegaskan bahwa keputusan rapat paripurna terkait hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan bentuk kontrol dan pengawasan.
"Angket ini bukan soal KTP elektronik, bukan soal BLBI, ini murni sebagai bentuk pengawasan dan kontrol terhadap kinerja KPK sebagai mitra kerja kita, yang selama ini belum terjawab dalam rapat-rapat dengan Komisi III," kata Sahroni di Jakarta, Minggu (30/4/2017).
Ia pun menyayangkan adanya opini yang berkembang selama ini di masyarakat, bahwa hak angket tersebut menjadi salah satu upaya untuk melemahkan KPK.
"Kita sebagai pengawas, dan kita mau meminta pertanggungjawaban. Tapi opini yang berkembang justru DPR akan melemahkan KPK," imbuhnya.
Baca Juga
Anggota DPR dari daerah pemilihan (dapil) Jakarta Utara ini meyakini bahwa bergulirnya hak angket, nantinya tidak akan mengganggu proses penyidikan yang sedang dilakukan KPK, termasuk kasus KTP elektronik. Bahkan, dirinya mendukung agar kasus-kasus yang tengah ditangani KPK segera dituntaskan.
"Kami tidak mau mencampuri semua kasus hukum yang sedang ditangani KPK. Tujuan kami mau melakukan pengawasan sebagai mitra kerja," tegas mantan Presiden Ferrari Owner Club Indonesia (FOCI) ini.
Sahroni menjelaskan KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif dan berkesinambungan.
KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan mana pun.
"KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya," kata Sahroni.
Penjelasan Undang-Undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK.
"Jika KPK sudah melenceng dari yang tersebut di atas, saya setuju bila dilakukan hak angket DPR," katanya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan bahwa dari sisi hukum hak angket tersebut konstitusional untuk memastikan fungsi-fungsi penyelenggaraan kenegaraan berlangsung akuntabel, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Hak angket adalah cara untuk memastikan fungsi-fungsi negara berlangsung dalam kerangka rule of law, bukan maunya sendiri," katanya.
Menurut dia, keberadaan hak angket tidak untuk melemahkan KPK, tetapi untuk minta klarifikasi dan membuktikan data dan fakta yang dimiliki DPR.
"Tinggal dijawab saja. Apa yang perlu ditakuti? Cuma itu doang," tuturnya.
Pengajuan hak angket, lanjut dia, justru ingin menguji kejujuran KPK. "Kalau jujur pasti tak ada rasa takut kepada siapa pun. Kenapa harus dipikirkan bahwa ini akan melemahkan. Ini kan tidak," ujarnya.
Margarito menegaskan dalam perspektif negara hukum demokratis, hak angket sangat wajar dan biasa saja. "KPK tidak perlu merasa kebakaran jenggot. Itu bukan tindakan yang mengintervensi proses penegakan hukum," paparnya.