Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terkait Audit BPK, Ahok Dinilai Ceroboh

Selain faktor selisih harga, keputusan Pemprov DKI Jakarta dalam membeli tanah milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) juga dinaungi aspek kecerobohan.

Bisnis.com, JAKARTA-- Selain faktor selisih harga, keputusan Pemprov DKI Jakarta dalam membeli tanah milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) juga dinaungi aspek kecerobohan.

Di berbagai laman media, Ahok disebutkan menyebut harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah tersebut sebesar Rp20 juta per m2.

Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membantah pernyataan itu. Dengan mengutip data dari Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) Dinas Pelayanan Pajak (DPP) DKI, bahwa NJOP tanah itu pada 2014 hanya Rp7,44 juta per m2.

BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta melaporkan temuan pembelian seharga Rp755,69 miliar itu tidak tepat karena lokasi tanah seluas 3,64 ha tersebut tidak berada persis di Jalan Kyai Tapa, melainkan Jalan Tomang Utara.

"YKSW terindikasi tidak transparan dalam menawarkan harga tanah, karena fisik tanah di Tomang Utara ditawarkan dengan NJOP Jalan Kyai Tapa," sebut BPK dalam dokumen LHP.

Implikasinya, sewaktu-waktu akan timbul masalah hukum dan sengketa yang dapat merugikan Pemprov DKI Jakarta karena akses jalan justru masih dikuasai oleh YKSW. Ditambah lagi, lokasi yang berada di arteri Tomang Utara dinilai tidak strategis.

PT Ciputra Karya Unggul (CKU), yang menjalin kesepakatan jual beli melalui Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (APPJB) senilai Rp15,5 juta per m2 setara Rp564,34 miliar menyadari hal tersebut. Tapi, Plt. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah menutup mata.

Dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, ditemukan pula lokasi tanah tidak siap pakai, karena ada sejumlah bangunan yang masih berdiri di tanah tersebut, yaitu tiga unit bangunan empat lantai, tiga unit bangunan dua lantai dan sembilan unit bangunan satu lantai milik YKSW.

Areal tanah juga diindikasi rawan banjir, sulit dijangkau dan rawan macet serta jauh melebihi kebutuhan minimal 2.500 m2.

Selain itu, YKSW juga tercatat menunggak pajak bumi dan bangunan (PBB) atas tanah tersebut. Pada saat penandatanganan akta pelepasan hak pada 17 Desember 2014 dan Pemprov DKI Jakarta membayar Rp755,69 miliar, YKSW masih menunggak PBB Rp6,61 miliar.

Pembayaran pokok pajak terutang pada 2013 dan 2014 sebesar Rp3,53 miliar baru dibayar oleh YKSW pada 23 Maret 2015, atau setelah Pemprov DKI membayar tanah tersebut.

Dari LHP BPK juga terkuak, harga yang dibayar oleh Pemprov DKI Jakarta adalah harga menurut NJOP 2014 Rp20,75 juta per m2, sementara YKSW hanya membayar PBB senilai setengah dari NJOP 2014, atau Rp10,38 juta per m2.

Koordinator Garuda Institute Roso Daras mengungkapkan jual beli antara YKSW dan Pemprov DKI juga aneh karena Penawaran disampaikan 7 Juli 2014 direspons langsung oleh Plt. Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli dengan mendisposisikan ke Kepala Bappeda untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014.

Aspek lainnya adalah tanah 3,64 ha itu memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018.

Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik negara, sehingga Pemprov DKI Jakarta melakukan blunder karena tidak menggubris hal ini.

"Pertanyaannya, kenapa Ahok ngebet betul membeli tanah itu? Apakah kalau dia memakai uang pribadi dia akan mengambil putusan yang sama seperti saat dia jadi gubernur?” ujar Roso.

Gubernur DKI Basuki Ahok Tjahaya Purnama belum mengklarifikasi pernyataan Roso Daras ini. Namun sebelumnya, Ahok mengatakan BPK RI salah persepsi jika menyebut DKI Jakarta bisa membeli banyak lahan sehingga Pemprov DKI mampu membayar tanah dengan harga appraisal.

"Siapa bilang DKI tanahnya banyak? Untuk bangun taman saja baru 8,5% yang terpenuhi, sementara kami diwajibkan punya 30%. Ini BPK hanya cari pembenaran saja," tudingnya.

Ahok mengaku membeli lahan RS Sumber Waras seluas 3,7 hektare. Setengah lahan sudah dibelinya sesuai harga nilai jual objek pajak (NJOP). Namun menurut temuan BPK pembelian lahan itu bermasalah karena memakai harga yang lebih mahal dari NJOP lahan dibelakang rumah sakit, sehingga ditemukan kelebihan anggaran Rp191 miliar.

"Kami mau duduk memberitahukan bahwa menurut kami BPK tidak pantas mengaudit seperti ini, karena ini tendensius sekali. Saya kita panggil saja mantan-mantan orang KPK, Kejagung. Duduk bareng, BPK auditnya jangan prosedural saja deh," kata Ahok pagi ini di Pendopo Balai Kota, Jumat (10/7/2015).

Ahok mengakui adanya kesalahan di Dinas Kesehatan DKI yang awalnya tidak membeli lahan dengan harga taksiran pasar (appraisal) karena NJOP DKI dibawah harga pasar. Padahal BPK RI menyarankan Pemprov DKI untuk membeli senilai harga appraisal.

Ketika Pemprov DKI coba membeli dengan harga appraisal ternyata harganya lebih mahal ketimbang harga NJOP. Maka Ahok memutuskan membeli dengan harga NJOP. Pemprov DKI pun mau membeli lahan tersebut sesuai prosedur appraisal yang mengalami pelonjakan harga.

Hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2014 ada 70 temuan dengan total Rp2,16 triliun terdiri atas indikasi kerugian daerah senilai Rp442,3 miliar, potensi kerugian daerah senilai Rp1,71 triliun, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp3,23 miliar, administrasi senilai Rp469,5 juta dan pemborosan senilai Rp3,04 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arys Aditya
Editor : Rustam Agus

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper