Bisnis.com, JAKARTA - Seruan mengenai dugaan kecurangan Pemilu 2024 makin meluas. Sejumlah tokoh mulai menyuarakan pendapat mereka tentang Pemilu yang dinilai sudah tidak jujur, adil dan transparan.
Salah satu yang berbicara mengenai dugaan adanya kecurangan pemilu yakni Mahfud MD saat menghadiri pengukuhan guru besar Universitas Indonesia (UI) pada Minggu (18/2/2024).
Cawapres nomor urut 03 itu menyinggung mengenai putusan MK yang bisa membatalkan hasil pemilu untuk diadakan pemilihan ulang.
"Sebab terjadi kecurangan terbukti secara sah dan meyakinkan. MK pernah memutus pembatalan hasil pemilu dalam bentuk perintah pemilihan ulang maupun pembatalan penuh. Sehingga yang menang dinyatakan disqualified (didiskualifikasi) dan yang kalah naik," ujarnya di hadapan wartawan.
Ia pun mencontohkan pada pelaksanaan Pilkada Provinsi Jawa Timur Tahun 2008, di mana Khofifah Indar Parawansa yang semula dinyatakan kalah kemudian dibatalkan dan MK memerintahkan pemilu ulang.
"Kemudian hasil Pilkada Bengkulu Selatan, yang menang didiskulifikasi, yang bawahnya langsung naik. Hasil Pilkada Kota Waringin Barat sama dengan Bengkulu Selatan; dan banyak lagi kasus di mana ada pemilihan ulang, terpisah, daerah tertentu, desa tertentu dan sebagainya," kata Mahfud.
Baca Juga
Mahfud juga menegaskan bahwa kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) bisa menjadi dasar vonis lain.
Lantas apa syarat yang menjadikan satu pasangan calon (paslon) dinyatakan melanggar aturan dan bisa didiskualifikasi?
Syarat Diskualifikasi Capres-Cawapres
Pengajar ilmu hukum Pemilu Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan bahwa setidaknya ada lima hal yang membuat capres dan cawapres bisa didiskualifikasi dari pilpres.
Pertama, jika paslon melakukan tindak pidana larangan kampanye berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Jadi di pasal 280 dan 284 (UU pemilu) ada larangan kampanye. Uniknya di sinilah, pemilu serentak, pilpres, pileg tapi diskualifikasi bagi peserta pemilu yang melanggar larangan kampanye yang merupakan tindak pidana, kalau inkrah itu diskualifikasi hanya untuk calon DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasangan calon di pilpres tidak ada diskualifikasi di dalamnya,” kata Titi.
Kedua, lanjut Titi, paslon dapat didiskualifikasi jika ada rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) jika terbukti di dalamnya melanggar pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) karena menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu dan atau pemilih.
“Ini ada di pasal 286 UU pemilu. Jadi harus merupakan rekomendasi Bawaslu terkait dengan praktik uang yang TSM,” kata Titi yang juga Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini.
Ketiga, melakukan pelanggaran administratif pemilu secara TSM berdasarkan putusan dari Bawaslu. Keempat berkaitan dengan laporan dana awal kampanye pemilu ke KPU.
“Di sinilah uniknya UU pemilu kita. Diskualifikasi kalau tidak menyampaikan laporan dana awal kampanye itu hanya untuk parpol peserta pemilu dan DPD tapi paslon tidak ada sanki serupa,” ungkapnya.
Kelima, sambung Titi, pasangan capres-cawapres bisa didiskualifikasi jika ada putusan MK soal perselisihan hasil pemilu.
Hal ini dijelaskan oleh Titi tidak berkaitan dengan putusan MK terkait batas usia capres-cawapres yang telah diputuskan MK beberapa waktu yang lalu.
Berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei hingga hitung sementara atau real count dari KPU hingga Minggu (18/2/2024), Prabowo-Gibran masih unggul dibandingkan dua rivalnya, Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud Md.
Kendati demikian, berbagai protes terus bermunculan lantaran menilai kemenangan Prabowo-Gibran merupakan buah dari kecurangan Pemilu yang dilakukan berbagai pihak, termasuk Joko Widodo (Jokowi) selaku presiden.
Hal itulah yang melatarbelakangi protes hingga muncul tuntutan agar Prabowo-Gibran didiskualifikasi, salah satunya dari FKP3.