Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebangkitan China Dorong Kebutuhan Perkembangan Sinologi

Iklim demokrasi membawa kebebasan bagi dilaksanakannya kajian tentang China (Sinologi) yang semasa periode Orde Baru diawasi secara ketat.
Ilustrasi bendera China ditempatkan di sebelah Galium dan Germanium pada tabel periodik elemen./Reuters
Ilustrasi bendera China ditempatkan di sebelah Galium dan Germanium pada tabel periodik elemen./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA- Perkembangan terkini baik di dalam maupun luar negeri dinilai membawa dampak positif bagi studi mengenai Republik Rakyat China (RRC) di Indonesia.

Pada satu sisi, iklim demokrasi yang makin terbentuk di era reformasi ini membawa kebebasan bagi dilaksanakannya kajian tentang China (Sinologi) yang semasa periode Orde Baru diawasi secara ketat oleh pemerintah.

Hal itu diungkapkan Profesor A. Dahana, Guru Besar studi China Universitas Indonesia. Bagi pendiri Forum Sinologi Indonesia (FSI) yang menjadi narasumber  seminar “Sinologi di Indonesia: Sejarah, Perkembangan, dan Tantangannya di Masa Kini,” terdapat momen kebangkitan China dan peningkatan hubungannya dengan Indonesia.

Selain Profesor A Dahana, hadir pula Prof Dr. Hermina Sutami, yang juga akademisi Sinologi, serta Ketua Forum Sinologi Indonesia yang juga Pengajar Universitas Pelita Harapan Johanes Herlijanto.

Dalam pemaparannya, Dahana menyampaikan sejarah berdirinya disiplin sinologi tersebut. “Yang dapat kita sebut sebagai sinolog paling awal antara lain adalah Marco Polo, yang menceritakan tentang kehidupan di Cina semasa Dinasti Yuan kepada penduduk Genoa, saat ia menjadi tawanan di kota itu,” tuturnya, dikutip dari siaran pers pada Rabu (12/7/2023).

Dia menyampaikan bahwa penuturan Marco Polo tersebut belakangan dituliskan menjadi sebuah buku berjudul” The Travels of Marco Polo” oleh Rustichello. “Belakangan, antara abad ke 15 hingga 18, para pekabar injil dari Eropa berdatangan ke Cina untuk memberitakan injil,” lanjutnya.

Menurut Dahana, di antara para misionaris tersebut terdapat Jesuit Matteo Ricci dan Michele Riggieri. Keduanya, menurut Dahana, patut disebut sebagai pelopor disiplin Sinologi.

Namun pada saat itu, menurut penjelasannya, Sinologi belumlah terpisah dari upaya misi keagamaan. Barulah pada awal abad ke-20. sinolog Perancis terkemuka, Edouard Chavannes, memperkenalkan kuliah-kuliah sejarah China di College de France.

Sejak saat itu Sinologi sebagai suatu ilmu tersendiri lambat-laun berkembang dengan metodologi modern.  Sesuai dengan zamannya, sasaran Sinologi pada masa awal itu adalah kebudayaan, sejarah kuno, dan karya-karya klasik Konfusianis dan aliran filsafat lainnya di China.

Studi mengenai China kembali mengalami perkembangan sejak berdirinya RRC dan perang dingin antara blok Barat dan Timur. Sinologi yang hanya menekankan pada sejarah, budaya dan filsafat Cina kuno dianggap kurang mengikuti perkembangan zaman.

“Di Indonesia, kajian mengenai Cina mulai berkembang pada periode akhir zaman kolonial, khususnya sejak dasawarsa pertama abad yang lalu, ketika minat terhadap masalah-masalah Cina kontemporer mulai berkembang, terutama di kalangan orang-orang Tionghoa.  Munculnya minat tersebut dipengaruhi oleh perkembangan politik di negeri tersebut, khususnya setelah mencuatnya nama dua orang tokoh politik terkemuka, yaitu Kang Youwei dan Dr. Sun Yat-sen,” tutur Dahana.

Namun Dahana menyayangkan kecenderungan akhir-akhir ini, seiring dengan era kebangkitan China, yang menurut beliau cenderung melemahkan Sinologi. “Kini makin banyak jurusan yang menamakan diri jurusan atau program studi China, namun hanya menitikberatkan pada pengajaran bahasa Mandarin,” katanya.

Profesor Hermina Sutami mengatakan bahwa studi China merupakan merupakan kegiatan ilmiah mempelajari negara Tiongkok/Cina di bidang tertentu. Sedangkan sinologi merupakan ilmu pengetahuan di bidang tertentu mengenai negara Tiongkok/Cina.    

Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto menekankan pentingnya kesetaraan dalam hubungan Indonesia China. Kesetaraan itu, menurutnya dapat dicapai antara lain dengan terus memperoleh pemahaman yang obyektif dan kritis terhadap Cina.

Johanes juga mendorong agar semakin banyak pelajar dan kaum terdidik di Indonesia turut serta mengembangkan kajian kritis terhadap Cina.

“Harapan kami agar baik orang Tionghoa maupun non Tionghoa semakin berminat mempelajari sinologi, sebuah kajian akademik yang menjadikan sejarah, sosial, politik, ekonomi, dan prilaku hubungan internasional Cina sebagai obyek studinya,” pungkas Johanes.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper