Bisnis.com, JAKARTA -- Berumur hampir setengah milenium, Jakarta menyimpan banyak ingatan. Kawasan ini telah beberapa kali berganti nama mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, hingga akhirnya berubah nama menjadi Batavia.
Batavia adalah nama lama kawasan Jakarta. Nama Batavia muncul usai pelaut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Jan Pieterszoon Coen usai menaklukkan Jayakarta.
Batavia pernah menjadi pusat administrasi sekaligus perdagangan pada masa rezim kolonialisme Belanda. Nama Batavia bisa dibilang mewakili kegemilangan masa lalu penjajahan Belanda.
Di Batavia, VOC berubah menjadi imperium perdagangan global. Mereka menguasai tata niaga rempah-rempah. Monopoli tersebut mampu menjadikan VOC sebagai perusahaan paling kaya dalam sejarah.
Sebaliknya, Batavia juga bisa berarti 'mimpi buruk' bagi bangsa bumiputra. Pasalnya selain sebagai pusat pemerintahan VOC kemudian Belanda, Batavia merupakan tempat jual beli budak yang didatangkan dari berbagai pulau di Nusantara.
Batavia juga mewakili sejarah kelam tentang penjajahan yang berumur ratusan tahun. Dari Batavia pula, orang-orang Belanda mengadu domba bangsa bumiputra supaya saling bertarung dan menjatuhkan satu sama lain.
Baca Juga
Sunda Kepala ke Batavia
Batavia atau Jakarta memiliki sejarah yang panjang tentang kolonisasi Belanda dan kemerdekaan. Berawal dari sebuah kota pelabuhan Sunda Kelapa yang kemudian berubah menjadi Jayakarta setelah ditaklukkan Demak.
Di bawah Demak, yang kemudian diteruskan oleh Kesultanan Banten, Sunda Kelapa atau Jayakarta menjadi suatu pusat perdagangan yang cukup ramai.
Semua bangsa dan suku-suku di Nusantara berbaur di pelabuhan tersebut. Mereka memperdagangkan banyak komoditas. Tentu yang paling ramai adalah perdagangan rempah-rempah.
Popularitas Sunda Kelapa kemudian menarik minat bangsa asing, Eropa. Awalnya mereka datang untuk berdagang. Lambat laun ingin berkuasa.
Seorang pelaut Belanda, Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta pada tahun 1619. Dia mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia. Batavia kemudian secara de facto menjadi 'ibu kota' bagi para pendatang Belanda.
Jurnalis senior Alwi Shahab penulis buku 'Waktu Belanda Mabuk, Lahirlah Batavia' menulis bahwa usai menaklukkan Jayakarta, Coen ingin menamai reruntuhan Sunda Kelapa dengan nama De Hoorn ada yang menyebut Nieuw Hoorn. Hoorn merujuk kepada kota tempat kelahiran JP Coen.
Tetapi belum sempat dia menamakannya, tiba-tiba dalam sebuah pesta, seorang soldadoe atau serdadu VOC yang tengah mabuk meneriakkan kata 'Batavia.. Batavia.'
"Akhirnya kota yang terletak di muara Kali Ciliwung dan sekitarnya itu dinamai Batavia."
Batavia, kata Alwi, merujuk kepada Bataviren Van Oranye, salah satu suku bangsa Jerman yang tinggal di Pulau Bataviren.
Di Batavia, perkumpulan dagang Hindia Timur atau Vereenigde Osstindische Compagnie (VOC) mengendalikan perdagangan rempah sekaligus memperkuat pengaruh militernya selama beberapa abad.
Nasib Batavia hampir saja berakhir jika ekspedisi militer yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram berhasil. Ekspedisi militer ke Batavia adalah bagian dari ambisi Sultan Agung untuk menjadikan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram.
Sejarah mencatat, setelah sebagian besar Jawa takluk, Sultan Agung mulai mengincar wilayah Barat. Banten sebenarnya menjadi sasaran.
Namun, sebelum masuk ke wilayah penghasil lada, dia mengalihkan perhatian ke kota pelabuhan Sunda Kelapa, atau waktu itu dikenal sebagai Batavia. Tempat sekelompok orang Belanda di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bercokol.
Sultan Agung menyiapkan ekspedisi untuk menyerang Batavia. Pasukan disiapkan dan mengepung benteng milik VOC itu. Persiapan kurang matang. Usaha pertamanya gagal.
Namun Sultan tak patah arang. Persiapan penaklukan kedua dilakukan. Kondisi pasukannya lebih siap dibandingkan ekspedisi militer pertama. Lagi-lagi ekspansi militer Mataram yang kedua gagal. Tapi pimpinan VOC Jan Pieterszoon Coen tewas.
Kegagalan ekspedisi militer ini membawa malapetaka bagi Mataram. Banyak kerajaan bawahannya Mataram memberontak, meskipun dapat ditumpas.
Sebaliknya kegagalan Mataram semakin memperkuat kedudukan Belanda di Jawa dan kepulauan Melayu. Londo-londo ini kelak ikut campur dalam urusan internal Mataram. Maratam lemah karena perang antar elite istana. Alhasil Belanda berhasil bercokol di Jawa selama ratusan tahun, sebelum diusir Jepang pada 1942.
Jalan Sultan Agung vs Coenweg
Batavia pernah memiliki ingatan tentang perbudakan. Sejarawan MC Ricklefs mencatat bahwa sejak kehadiran Vereenigde Oost Indische Compagnie atau VOC di Batavia telah menghadirkan pasar baru perbudakan di Nusantara.
Budak-budak yang datang ke Batavia berasal dari berbagai macam daerah, terutama Bali. Ricklefs menyebutkan bahwa ekspor manusia itu telah memperkaya pesaing raja-raja Bali. Mereka menjual tahanan, debitur terutama tawanan perang mereka. Salah satu tawanan atau budak Bali yang kemudian melawan Belanda adalah Untung Surapati.
Ingatan tentang perbudakan di Asia Tenggara, terutama di Batavia bisa dilihat dari keberadaan Manggarai atau Jalan Sultan Agung. Jalan Sultan Agung, dulu bernama JP Coenweg atau Jalan JP Coen. JP Coen adalah sosok penakluk Jayakarta. Dia kemudian mengubahnya menjadi Batavia.
Dulu kawasan JP Coenweg adalah pusat perbudakan di Batavia. Konon, keberadaan kampung Manggarai merupakan salah satu jejak atau saksi bisu perdagangan budak di Jakarta.
Pada era kemerdekaan JP Coenweg kemudian diubah menjadi Jalan Sultan Agung. Nama ini bertahan hingga sekarang. Penamaan Jalan Sultan Agung ini memiliki makna historis.
Sultan Agung adalah raja Jawa, yang pernah dua kali menyerang Batavia. JP Coen adalah musuh bebuyutan Mataram yang tewas dalam serangan Sultan Agung.