Bisnis.com, JAKARTA - Lebih dari 100 eksekutif perusahaan top Korea Selatan (Korsel) bersama dengan Presiden Yoon Suk-yeol akan berkunjung ke Amerika Serikat (AS) bulan ini untuk membahas masalah perekonomian.
Para eksekutif perusahaan jajaran atas Korea Selatan bersama dengan Presiden akan mengunjungi negara pemerintahan Joe Biden tersebut, untuk berfokus pada kerja sama ekonomi dan mengamankan rantai pasokan agar tidak terlalu bergantung pada China, terutama untuk barang seperti semikonduktor.
Dikutip dari Bloomberg (19/4/2023), penasihat ekonomi presiden Choi Sang-mok mengatakan bahwa sebanyak 122 perwakilan dari perusahaan termasuk ketua eksekutif Samsung Electronics Co. Jay Y. Lee dan Ketua Eksekutif Hyundai Motor Co. Euisun Chung, akan menjadi bagian dari delegasi untuk kunjungan kenegaraan.
Choi juga mengatakan bahwa grup ini menjadi grup bisnis terbesar yang bergabung dengan Yoon dalam perjalanan ke luar negeri, sejak dirinya menjabat sekitar setahun yang lalu. Kunjungan tersebut sangat penting dalam mendukung ekonomi berbasis ekspor Korea Selatan.
Yoon akan dijadwalkan bertemu Biden di Gedung Putih pada Rabu 26 April, dan memberikan pidato di Universitas Harvard di Massachusetts.
Perjalanan ini kemudian juga menjadi tantangan bagi Yoon, karena negaranya bergantung kepada AS sebagai sekutu keamanan utamanya melawan Korea Utara, dan juga bergantung pada China sebagai mitra dagang terbesarnya.
Baca Juga
Selain itu, pemerintahan Biden juga mencari bantuan dari mitra globalnya untuk melakukan pembatasan besar-besaran pada penjualan peralatan chip canggih ke China. Hal Ini dilakukan untuk mencegah kemajuan negara, yang dapat mengancam status AS sebagai kekuatan utama dunia.
Di lain sisi, Samsung dan SK Hynix Inc. bergantung pada China sebagai pasar utama dan tempat pembuatan chip memori mereka.
“Rantai pasokan global sedang direstrukturisasi dengan fokus pada stabilitas, negara sekutu, dan teknologi canggih,” kata ucap Choi mengutip dari Bloomberg.
Pemerintahan Yoon telah menjadi penganjur strategi Asia pemerintahan Biden, termasuk inisiatif AS untuk merestrukturisasi rantai pasokan global.
AS juga berusaha meredakan kekhawatiran Hyundai Motor atas bagian dari tagihan iklim dan energi Biden, yang menurut produsen mobil Korea Selatan itu dapat merugikannya di pasar AS.
Undang-undang mengenai kewajiban bagi pembuat kendaraan listrik tersebut menjadi pukulan yang besar bagi Hyundai dan afiliasi Kia, yang tidak memiliki pabrik EV operasional di AS.
Diketahui bahwa Hyundai menginvestasikan sekitar US$5,5 miliar atau setara dengan Rp82 triliun untuk membangun perakitan EV dan pabrik baterai di dekat Savannah, Georgia.
Hyundai juga mengatakan bahwa proyek tersebut akan menciptakan 8.100 pekerjaan baru, yang akan mulai dibangun pada awal 2023 dan produksi dimulai pada 2025.