Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Persoalan Kemiskinan di Perkotaan

Pada 2022, proporsi penduduk yang bekerja di sektor informal perkotaan mencapai 44,4%, meningkat jika dibandingkan dengan 2016 yang hanya 38,4%.
Ilustrasi Kemiskinan/bisnis.com
Ilustrasi Kemiskinan/bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Hampir 70% penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di perkotaan pada 2045 mendatang. Urbanisasi dapat menjadi berkah bagi perekonomian jika dikelola dan dioptimalkan dengan baik. Sayangnya, urbanisasi di Indonesia justru menambah penduduk yang bekerja di sektor informal di perkotaan.

Pada 2022, proporsi penduduk yang bekerja di sektor informal perkotaan mencapai 44,4%, meningkat jika dibandingkan dengan 2016 yang hanya 38,4%. Informalitas ini akan berbanding lurus dengan kemiskinan. Makin tinggi informalitas pada rumah tangga, maka makin tinggi juga kemiskinan (OECD, 2019).

Penanganan kemiskinan perkotaan perlu dicermati serius, sebab hampir setiap kali penambahan penduduk miskin, penduduk miskin di perkotaan relatif lebih cepat bertambahnya jika dibandingkan perdesaan. Sementara, penurunan kemiskinan di perkotaan relatif lebih lambat dibandingkan perdesaan.

KESEJAHTERAAN TURUN

Ketersediaan pangan yang cukup dengan harga terjangkau menjadi hal krusial bagi penduduk perkotaan terutama bagi penduduk miskin. Berkaca dari penambahan penduduk miskin pada September 2022 lalu, penambahan tersebut banyak terjadi di perkotaan yang pemicu utamanya adalah kenaikan pengeluaran bahan makanan akibat tingginya inflasi di sektor transportasi yang menyebabkan naiknya garis kemiskinan.

Tingkat Inflasi pada bulan September merupakan yang tetinggi sepanjang 2022 karena pada awal bulan tersebut bertepatan dengan naiknya harga BBM bersubdisi. Sektor transportasi menjadi kontributor terbesar penyumbang inflasi.

Bahkan secara kumulatif pun, inflasi tahun 2022 menjadi yang tertinggi dalam delapan tahun terakhir ini.

Sejak harga BBM subsidi naik, ongkos distribusi bahan pangan dari sentra produksi di perdesaan ikut terkerek. Penduduk di perkotaan jadi menanggung kenaikan harga pangan yang jauh lebih besar akibat kenaikan biaya distribusi.

Hal ini tecermin dari pertumbuhan garis kemiskinan makanan di perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan non-makanan. Padahal, sebagian besar pengeluaran masyarakat miskin adalah untuk membeli makanan yang porsinya mencapai 73%.

Beras merupakan kontributor terbesar terhadap garis kemiskinan yang kontribusinya sebesar 19 persen, sementara daging ayam ras, telur dan bawang merah jika dijumlahkan kontribusinya mencapai 10,4%. Pada saat harga-harga naik, beban pengeluaran penduduk miskin akan bertambah. Daya beli mereka akan makin tergerus apalagi saat ini tengah dihadapkan dengan fenomena penurunan kesejahteraan.

Dalam 3 tahun terakhir, upah riil tenaga informal perkotaan seperti buruh bangunan, potong rambut wanita dan asisten rumah tangga mengalami penurunan. Sebagai contoh, upah harian buruh bangunan pada Desember 2020 sebesar 86.000, turun menjadi 83.000 pada Desember 2022.

Begitu juga dengan upah bulanan asisten rumah tangga dari Rp397.000 menjadi Rp384.000 pada periode yang sama.

Penurunan upah secara riil ditengah inflasi dikhawatirkan akan makin menambah penduduk yang jatuh miskin.

Sebelum pandemi Covid-19 saja, jumlah penduduk rentan miskin dan hampir miskin di perkotaan yang jumlahnya hampir tiga kali lipat penduduk miskin itu trennya meningkat.

Setelah pandemi Covid-19 kemungkinan angka tersebut bertambah mengingat adanya kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat yang ketat di perkotaan.

INTEGRASI PANGAN

Pemenuhan pangan memang tidak terbatas pada penyediaan dalam negeri. Impor dapat dilakukan jika dibutuhkan. Apalagi sejak berlakunya perjanjian dagang antar negara, perdagangan pangan tak lagi banyak hambatan. Hanya saja yang dikhawatirkan jika makin bergantung terhadap pangan impor, maka secara tidak langsung kita menambah variabel kerentanan terhadap perekonomian.

Selain itu, pangan impor yang relatif lebih murah membuat petani sulit bersaing. Apalagi saat ini para petani dihadapkan dengan persoalan penurunan produktivitas dan berkurangnya dukungan pemerintah. Tentunya ini akan menambah beban agenda pengentasan kemiskinan, sebab rumah tangga di sekitar garis kemiskinan kebanyakan bekerja di sektor pertanian.

Membangun domestic supply chain komoditas pangan dapat menjadi alternatif solusi untuk mencegah penambahan kemiskinan kota dan mengurangi kemiskinan desa. Desa sebagai penyedia pangan perlu diintegrasikan dengan kota. Di setiap desa perlu dibangun distribution center (DC) untuk menampung hasil produksi, pemasaran dan pertukaran informasi pasar dan harga.

Keberadaan DC di setiap desa dapat menyediakan data yang akurat dan membantu perencanaan distribusi yang efektif dan efisien sehingga harga pangan dapat terkendali. Petani dan konsumen keduanya akan diuntungkan. BUMDES yang didukung dengan dana desa dapat berperan besar dalam hal ini.

Upaya mengurangi kemiskinan di kota maupun di desa dapat ditempuh melalui pengembangan sistem pangan tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan kesadaran serta keinginan yang kuat dari berbagai pihak untuk dapat merealisasikannya. Upaya pengentasan kemiskinan dapat signifikan apabila diatasi dari akar persoalan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Eliza Mardian
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper