Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KLHK Canangkan Gerakan Nasional Kompos Satu Negeri

Kampanye nasional ini akan dicanangkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya di  Lapangan Banteng, Jakarta,  pada  Minggu (26/02/2023).
Logo Kementerian Lingkungan Hidup/Istimewa
Logo Kementerian Lingkungan Hidup/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA- Guna mencapai  target Zero Waste Zero Emission dari subsektor sampah, diperlukan aksi nyata pengelolaan sampah organik yang lebih massif dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) menginisiasi Gerakan Nasional “Compost Day - Kompos Satu Negeri”.

Kampanye nasional ini akan dicanangkan oleh Menteri LHK, Siti Nurbaya di  Lapangan Banteng, Jakarta,  pada  Minggu (26/02/2023).

Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati mengatakan hal itu ketika menjadi pembicara kunci dalam ‘Diskusi Pojok Iklim’ bertema  ”Kontribusi Pengelolaan Sampah Organik di Sumber Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca” yang digelar secara daring dan luring di Jakarta, Rabu (22/02/2023).

Menurut Dirjen Vivien, melalui gerakan nasional ini juga, KLHK ini menegaskan bahwa sampah merupakan tanggung jawab kita semua. Saya harap kegiatan ini dapat menjadi momentum yang baik untuk menuntaskan masalah sampah di Indonesia dengan partisipasi aktif masyarakat sejak dari sumber.

“Jika seluruh masyarakat Indonesia melakukan pengomposan sampah organik sisa makanan setiap tahunnya secara mandiri di rumah, maka 10,92 Juta ton sampah organik tidak dibawa ke TPA, dan dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 6,834 juta ton CO2eq,” ujar Rosa Vivien.

Lebih lanjut Dirjen PSLB3 mengatakan, berdasarkan data KLHK tahun 2022, jumlah timbulan sampah di Indonesia adalah sebesar 68,7 juta ton/tahun dengan komposisi sampah didominasi oleh sampah organik, khususnya sampah sisa makanan yang mencapai 41,27 persen.  Kurang lebih 38,28 persen dari sampah tersebut bersumber dari rumah tangga. Selain itu, untuk konteks lebih global, sampah organik juga merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca jika tidak terkelola dengan baik.

Berdasarkan data KLHK Tahun 2022, papar Rosa Vivien,  sekitar  65,83 persen sampah di Indonesia masih diangkut dan ditimbun di landfill. Sampah organik sisa makanan yang ditimbun di landfill tersebut akan menghasilkan emisi gas metana (CH4) yang memiliki kekuatan 25 kali lebih besar dalam memerangkap panas di atmosfer dibandingkan karbon dioksida (CO2), sehingga berkontribusi besar dalam perubahan iklim.

“Ledakan gas metana juga yang menjadi salah satu penyebab terjadinya longsor di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2005 yang lalu dikarenakan sebagian besar sampah organik ditimbun di landfill yang dikelola secara open dumpin,” ungkap Dirjen Rosa Vivien memberi contoh . 

Untuk mengenang tragedi tersebut, ungkap Vivien, setiap tanggal 21 Februari Indonesia memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) sebagai konstelasi perjalanan panjang sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Peristiwa di TPA Leuwigajah tidak hanya berimplikasi pada shifting perhatian dan fokus ke pengelolaan sampah terintegrasi, namun dampak yang lebih besar terjadi terhadap lingkungan dan ekosistem kehidupan global yaitu perubahan iklim.

Terkait Gerakan Nasional “Compost Day - Kompos Satu Negeri”, dia mengungkapkan, saat ini terdapat 2 (dua) masalah utama dalam pengelolaan sampah organik di Indonesia, pertama, tidak dilakukan pemilahan sampah organik oleh masyarakat. Kondisi tersebut mengakibatkan sampah organik yang tercampur dengan sampah anorganik akan sulit dilakukan pengolahan lanjutan, misalnya melalui metode pengomposan atau Budidaya Maggot Black Soldier Fly. 

“Kondisi tercampur ini dapat mengakibatkan proses pengolahan menjadi tidak optimal dan nilai ekonominya akan menurun sehingga dapat menghambat kegiatan ekonomi sirkular,” ujar Rosa Vivien. 

Kedua, sebagian besar sampah organik masih berakhir di landfill.Kondisi tersebut mengakibatkan hal sebagai berikut: pertama, TPA menjadi bau yang berakibat buruk pada lingkungan sekitar dan kedua, sampah organik di landfill menghasilkan emisi gas metana yang berkontribusi besar dalam perubahan iklim dan dapat mengakibatkan tragedi seperti di TPA Leuwi Gajah tahun 2005.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper