Bisnis.com, JAKARTA - China mulai melonggarkan kebijakan Nol-Covid, dan kini memicu kekhawatiran akan konsekuensi kesehatan pada masa depan. Para peneliti telah menganalisis akan banyak terjadi kematian di negara China jika pelonggaran dibuka secara penuh.
Selain itu, jika merujuk pada tingkat vaksinasi yang relatif rendah di negara itu dan kurangnya kekebalan dari kelompok rentan.
China melaporkan hingga Minggu (4/12/2022) terdapat 5.235 kematian akibat Covid-19 dan 340.483 kasus dengan gejala.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengendalian Penyakit di wilayah Guangxi Barat Daya, Zhou Jiatong mengungkap pada bulan lalu dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh Shanghai Journal of Preventive Medicine.
Di dalam makalahnya itu China daratan diprediksi akan menghadapi lebih dari 2 juta kematian jika melonggarkan pembatasan Covid-19 dengan cara yang sama seperti Hong Kong.
Selain itu prediksi berikutnya menyatakan bahwa infeksi di China dapat terus meningkat lebih dari 233 juta, seperti dilansir dari CNA, Senin (5/12/2022).
Pada bulan Mei, para ilmuwan di China dan Amerika Serikat (AS) telah memperkirakan bahwa China berisiko lebih dari 1,5 juta kematian akibat Covid-19 jika mencabut kebijakan Nol-Covid.
Menurut penelitian yang dipublikasikan bahwa hal itu diprediksi akan terjadi jika tanpa perlindungan apapun seperti meningkatkan vaksinasi dan akses ke perawatan.
Pihaknya memperkirakan bahwa puncak permintaan untuk perawatan intensif akan lebih dari 15 kali kapasitas, menyebabkan sekitar 1,5 juta kematian.
Prediksi itu berdasarkan data di seluruh dunia yang dikumpulkan tentang tingkat keparahan varian Covid-19 tersebut. Namun, para peneliti dari Universitas Fudan di China mengatakan jumlah kematian dapat dikurangi secara tajam jika fokus pada vaksinasi.
Selain itu, perusahaan informasi dan analitik ilmiah Inggris, Airfinity pada Senin (12/12/2022) pekan lalu mengatakan bahwa China dapat mengalami 1,3 juta hingga 2,1 juta orang meninggal jika mencabut kebijakan Nol-Covid karena tingkat vaksinasi dan penguat yang rendah serta kurangnya kekebalan hibrida.
Perusahaan tersebut telah menguji dan memodelkan datanya pada gelombang BA.1 Hong Kong di bulan Februari lalu, yang terjadi setelah kota tersebut melonggarkan pembatasan setelah 2 tahun.