Bisnis.com, SEMARANG – Di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Laweyan, Kota Solo, berdiri plang berwarna biru muda dengan tulisan ‘Lokananta’ berukuran besar. Tiang-tiang penyangga plang itu sudah berkarat, penanda telah dimakan usia dan tampak asing dari jamahan tangan manusia untuk merawatnya.
Ironi itu tampak dari badan usaha milik negara (BUMN) pertama di Indonesia yang bergerak di bisnis studio musik. Posisinya sebagai salah satu monumen kemajuan peradaban kebudayaan Tanah Air tersebut tampak terabaikan, di tengah besarnya euforia masyarakat dalam hal musik.
Adapun, pada mulanya Lokananta merupakan perusahaan piringan hitam yang didirikan pada 29 Oktober 1956. Kala itu, posisinya berada di bawah Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Berselang beberapa tahun sejak awal didirikan, Lokananta mencoba memasarkan piringan hitam pada masyarakat melalui Radio Republik Indonesia (RRI).
Lokananta mengantongi status sebagai perusahaan negara pada 1961. Pada periode itu, Lokananta diberikan tugas oleh pemerintah untuk menjadi label rekaman untuk mempromosikan lagu-lagu daerah.
Tak heran jika katalog rekaman Lokananta kebanyakan diisi oleh musik gamelan Jawa, Bali, Sunda, Batak, serta lagu-lagu rakyat. Beberapa musisi legendaris Tanah Air juga pernah rekaman di Lokananta, seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, hingga dalang carangan tersohor, Ki Nartosabdo.
Masa kejayaan Lokananta datang saat era kaset pita menyebar di Indonesia pada 1985. Apalagi kala itu Lokananta membangun studio rekaman yang terbilang paling canggih di Tanah Air. Tak heran, berbagai musisi beramai-ramai melakukan rekaman dan memproduksi kaset di tempat ini.