Tuntutan Mati Heru Hidayat Berlebihan
Bisnis.com, JAKARTA - Bos PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa dalam kasus korupsi Asabri.
Penasihat hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk menilai tuntutan yang dilayangkan jaksa penuntut umum berlebihan.
"Tuntutan Mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan, sebab hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat (2), sedangkan dalam dakwaan Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dalam dakwaannya," kata Kresna dalam keterangannya, dikutip Selasa (7/12/2021).
Kresna menilai ancaman hukuman mati diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dalam UU Pemberantasan Tipikor. Hanya saja, dalam surat dakwaan, jaksa tidak menyertakan pasal tersebut.
" Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat diluar Pasal yang ada di dakwaan. Tuntutan diluar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan diluar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power," kata Kresna.
Lebih lanjut, menurut Kresna, ancaman hukuman mati dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor memiliki sejumlah keadaan tertentu terkait penerapannya.
Misalnya, tindak pidana korupsi dilakukan saat negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana.
"Di mana dalam perkara Heru Hidayat, syarat dan kondisi tersebut tidak ada. Dari awal surat dakwaan tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan pasal 2 ayat (2) ini kepada Heru Hidayat, makanya JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU tipikor ke dalam dakwaannya, kenapa sekarang tiba-tiba dalam tuntutannya malah menuntut mati," ujarnya.
Kresna pun membantah alasan jaksa menuntut hukuman mati terhadap Heru lantaran kliennya melakukan pengulangan tindak pidana.
Menurut Kresna, berdasarkan KUHP pengertian dari pengulangan tindak pidana, yakni pihak tersebut harus dihukum dulu, baru kemudian melakukan tindak pidana.
"Sedangkan dalam perkara ini, jelas tempus perkara Asabri yang didakwakan JPU adalah 2012-2019, sebelum Heru Hidayat dihukum kasus AJS, sehingga jelas ini bukan pengulangantindak pidana," katanya.
Lebih lanjut Kresna mengklaim tak ada bukti yang menyatakan Heru Hidayat menerima aliran uang 12 Triliun lebih. Dia juga membantah Heru Hidayat memberikan sesuatu apapun kepada pejabat Asabri.
"Selain itu menurut kami unsur kerugian negara juga tidak terbukti karena sampai saat ini Asabri masih memiliki saham-saham dan Unit Penyertaan dalam Reksadana serta BPK tidak pernah menghitung keuntungan yang pernah diperoleh Asabri dalam penjualan saham periode 2012-2019, sehingga jelas tidak terbukti perbuatan yang didakwakan oleh JPU," katanya.
Kresna berharap Majelis Hakim tidak membuat Putusan yang diluar Dakwaaan. "Hakim dalam membuat Putusan adalah berdasarkan Dakwaan, yaitu dakwaan terbukti atau tidak terbukti," katanya.
Sebelumnya, Jaksa penuntut umum menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap bos PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), Heru Hidayat. Seperti diketahui, Heru Hidayat dinilai terbukti terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asabri (Persero) yang merugikan negara Rp22,7 triliun.
"Menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan primer dan kedua primer, menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata Jaksa.
Jaksa juga meminta bos PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) membayar uang pengganti senilai Rp12,64 triliun. Heru dinilai terbukti terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan keuangan dan investasi PT Asabri (Persero) yang merugikan negara Rp22,7 triliun.