Bisnis.com, JAKARTA - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sekarat akibat pandemi Covid-19 yang belum usai, kini Kementerian Keamanan dan Pertahanan mengajukan tambahan anggaran sebanyak Rp1.700 triliun.
Didik J. Rachbini, ekonom INDEF sekaligus Rektor Universitas Paramita mengatakan bahwa rencana anggaran pertahanan dan keamanan sampai Rp1.700 triliun sudah di luar kepantasan.
“Anggaran pertahanan senilai Rp1.700 triliun di luar kepantasan. Momentumnya salah karena sedang krisis akibat Covid-19, tidak layak karena APBN sekarat dan syarat utang dan tidak masuk di akal sehat," katanya dikutip dari siaran pers, Kamis (3/6/2021).
Rencana anggaran tersebut terbilang tidak memperhatikan kondisi APBN yang masih sekarat dengan utang. Diperkirakan pada periode selanjutnya akan mewariskan utang lebih dari Rp10.000 triliun.
"Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya," ujarnya.
Utang APBN di tahun 2019 mencapai Rp921,5 triliun rupiah untuk membayar bunga, pokok dan sisa defisit. Pada tahun 2020 APBN berencana untuk menekan utang menjadi Rp651,1 triliun, namun pandemi mengharuskan utang naik pesat menjadi Rp1.226 triliun.
Menurut Didik perubahan hal tersebut mencerminkan perihal labil yang dapat menghancurkan APBN dan cerminan DPR yang lemah mengambil keputusan.
"Saya melihat kasihan APBN kita diobrak-abrik oleh penguasa sehingga wajah dan strukturnya rusak berat. Tidak ada kepemimpinan ekonomi pada saat ini sehingga bisa berbuat apa saja terhadap APBN," sambung Didik J. Rachbini.
Akibatnya, setiap tahunnya kewajiban membayar utang pokok dan bunga serta cicilan utang luar negeri pemerintah sangat tinggi dan di luar kewajaran yakni sebesar Rp772 triliun di tahun 2020.
Pandemi sangat berdampak pada tingkat perekonomian di Indonesia dan sangat memprihatinkan karena kemiskinan dan pengangguran meningkat cukup tinggi.
"Tingkat kemiskinan meningkat sangat tinggi, pengangguran terbuka meningkat dari 5 persen menjadi sekitar 8 persen. Pengangguran terselubung juga sangat besar mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi masih negatif. Yang bekerja penuh turun dari 71 persen menjadi 64 persen sehingga menjadi pengangguran terbuka dan terselubung," kata Didik.